Bisnis.com, JAKARTA - Dalam beberapa bulan terakhir, Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia yang baru seumur jagung telah menjadi soroton publik. Bukan hanya dana yang dikelolanya, potensi manfaat dan resiko yang besar, tim “profesional” yang direkrut, inbreng yang cepat, hingga arah kebijakannya ke depan.
Bahkan terakhir, Danantara meminta BUMN menunda Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BUMN dan aksi korporasi BUMN, kecuali BUMN publik dan terbuka. Ini sekali lagi mencerminkan kewenangan besar pengelolaan hampir sebagian besar asset-aset BUMN-BUMN melalui holding operasional Danantara. Meskipun begitu, Danantara juga memiliki fungsi sebagai holding investasi. Harapannya, Danantara sebagai sumber pertumbuhan produktivitas ekonomi melalui peningkatan investasi produktif dan perluasan akses pendanaan.
Bagaimana dengan Indonesian Investment Authority (INA) yang juga merupakan Lembaga SWF serupa dan pertama di Indonesia? Mengapa kemudian, INA tetap dipertahankan hingga saat ini dan tidak dilebur dengan Danantara dalam holding investasi? Bagaimana seharusnya peran keduanya tidak tumpang tindih?
Menilik latar belakang INA yang dilahirkan melalui UU Ciptakerja Tahun 2023 lalu, maka INA bertujuan meningkatkan dan mengoptimalkan nilai investasi yang dikelola secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Lain halnya dengan Danantara, fokusnya untuk meningkatkan dan mengoptimalkan investasi dan operasional BUMN dan sumber dana lain, seperti tertuang dalam UU No. 1/2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 19/2003 tentang BUMN.
Meski sama-sama fokusnya pada pengelolaan investasi, Danantara akan memiliki kewenangan penuh atas aset, dividen, dan ekosistem yang dimiliki BUMN. Karena itu, ketua dewan pengawasnya adalah Menteri BUMN. Sementara, INA mengelola sendiri investasi yang sumbernya langsung dari penyertaan modal negara (PMN) dan ketua dewan pengawasnya adalah Menteri Keuangan.
Pada dasarnya INA bisa digabung dengan Danantara holding investasi. Keduanya mendapatkan sumber pendanaan PMN dan bertujuan mengoptimalkan investasi untuk pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, terdapat beberapa karakteristik keduanya yang secara tegas akhirnya memang tidak dapat disatukan.
Baca Juga
Selain latar belakang didirikannya dengan UU yang berbeda, mandat investasinya berbeda. INA bertindak sebagai mitra strategis bagi investor, bertujuan untuk menarik investor asing dan lokal melalui skema investasi bersama. Dengan prinsip ini maka INA mewajibkan adanya co-investor.
Sementara, Danantara fokus pada proyek-proyek strategis nasional yang menggerakkan perekonomian nasional, baik komersial maupun pembangunan. Dengan kebutuhan ini maka co-investor akan bersifat fleksibel. Kalau tidak ada co-investor maka Danantara akan tetap maju terus dengan beragam proyek-proyek investasinya. Misalnya proyek investasi kilang minyak PT Pertamina yang sebenarnya tidak membutuhkan co-investor.
PEMBAGIAN FOKUS
Lepas dari perbedaan keduanya maka pembagian mandat antara keduanya memang perlu dipertegas. Paling tidak aturan teknis dalam lingkup holding investasi Danantara, sementara ruang lingkup INA tetap berada dalam koridor yang saat ini ada serta membatasi tawaran investasi yang berada di luar jalurnya.
Misalnya, Danantara dapat fokus pada proyek-proyek penghiliran yang saat ini telah masuk tahap “uji tuntas”, termasuk proyek-proyek internal BUMN yang benar-benar layak dalam beragam aspek. Penghiliran nikel, bauksit, dan tembaga, pembangunan pusat data kecerdasan buatan, proyek kilang minyak, pabrik petrokimia, produksi pangan dan protein, aquaculture, serta energi baru dan terbarukan (EBT).
Saat yang sama, INA akan tetap fokus pada proyek-proyek infrastruktur jalan tol, infrastruktur Kesehatan, energi listrik “geothermal”, infrastruktur logistik dan sejenisnya. Dengan demikian, INA juga harus legowo jika ada terdapat peluang investasi yang sesuai dengan karakteristik Danantara.
Misalnya saja pada skema aliran investasi. INA kemungkinan akan membutuhkan ekuitas yang bersifat jangka menengah, bisa antara 5—10 tahun. Pilihan proyek infrastruktur dengan skema investasi ini yang kemungkinan INA bisa garap. Sementara Danantara kemungkinan jangka pendek atau kurang dari 5 tahun meskipun untuk beberapa proyek juga membutuhkan aliran investasi lebih dari 10 tahun ke atas. Misalnya penghiliran nikel atau pabrik petrokimia yang merupakan investasi jangka panjang.
Singapura memiliki dua SWF, seperti halnya Indonesia. Government of Singapore Investment Corporation (GIC) yang didirikan pada 1981, sementara satunya adalah Temasek Holding berdiri sejak 1974. GSIC mengelola cadangan devisa Singapura dengan fokus pada investasi jangka panjang di seluruh dunia.
Lembaga ini mengelola saham, obligasi, properti, infrastruktur, private equity, dan aset alternatif lainnya. Temasek sendiri merupakan perusahaan investasi milik negara, namun beroperasi seperti perusahaan swasta dengan fokus pada nilai jangka panjang. Temasek memiliki saham di perusahaan publik dan swasta, baik di dalam maupun luar negeri.
Pelajaran yang diambil dari kedua Lembaga ini adalah keduanya berada di bawah pengawasan Kementerian Keuangan, tetapi keduanya memiliki independensi masing-masing dalam operasionalnya. Agar tidak tumpang tindih maka keduanya diberikan mandat yang berbeda.
Temasek difokuskan pada fokus pada ekuitas perusahaan, terutama di sektor strategis dan berkembang. Selain itu, Temasek memegang saham pengendali di perusahaan, termasuk BUMN Singapura. Sebaliknya, GIC difokuskan pada fokus pada pengelolaan cadangan devisa negara. GIC juga berperan sebagai investor institusional jangka panjang, bukan pemilik perusahaan secara langsung.
Pelajaran dari Singapura adalah koordinasi kebijakan dilakukan dalam satu kementerian. Termasuk pemberian mandat yang berbeda, fokus investasi yang berbeda pula, karakteristik investasinya serta peran lembaga dalam pengembangan investasi yang perlu dibedakan.
PENTINGNYA SINERGITAS
Mungkin ini agak terasa sulit untuk diimplementasikan namun memang perlu ada agenda setting bagi keduanya agar tidak tumpang tindih antara SFW 1 (INA) dan SWF 2 (Danantara). Memang secara individu terdapat Menteri BUMN, selaku anggota dewan pengawas INA. Beliau juga merupakan Ketua Dewan Pengawas Danantara. Namun, perlu diatur mekanisme kelembagaan yang mengatur hubungan antara INA dan Danantara agar tidak terjadi “jeruk makan jeruk” dalam memainkan perannya, termasuk menggaet investor potensial.
Pada level operasional, dengan model mandat yang berbeda, sinergitas juga diperlukan. Meski sebagian sumber daya manusia profesional INA saat ini pindah ke Danantara, tetapi hal itu tidak cukup. Akan lebih baik INA mengambil posisi yang lebih “spesifik” karakteristik investasinya dibandingkan Danantara tetapi bersifat strategis. Ini penting mengingat jangkauan keuangannya juga tidak sebesar Danantara. Karena itu maka sinergitas perlu dimulai dengan MoU untuk memperjelas peran masing-masing serta meningkatkan kerja sama di antara keduanya. Bahkan, revisi regulasi mendatang juga diperlukan. Semoga terwujud.