Bisnis.com, JAKARTA – Bank Dunia menyebutkan bahwa skema-skema subsidi perumahan yang diterapkan pemerintah terlalu mahal dan kurang efektif pada anggaran belanja publik.
Pemerhati sektor properti Panangian Simanungkalit membenarkan pernyataan tersebut. Skema seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dengan suku bunga 5 persen selama 20 tahun memang menjadi biaya yang mahal dan membebani fiskal.
“Kalau SSB [subsidi selisih bunga] itu malah, menurut saya, lebih efektif karena pemerintah hanya membantu selisih bunga dan tenornya lebih pendek sehingga yang terjaring lebih banyak, sedangkan FLPP jadi beban jangka panjang,” ungkapnya kepada Bisnis, Kamis (25/6/2020).
Adapun, untuk rekomendasi Bank Dunia agar pemerintah menggalakkan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) di Indonesia, menurutnya, sulit. Pasalnya, dalam skema tersebut banyak aturan terkait spesifikasi yang tidak cocok diterapkan di Indonesia.
“Menurut saya, sulit kualitas dan murah untuk bisa sejalan. Di Indonesia ini fokusnya pemerintah dan pengembang kan yang penting banyak yang terbangun, sudah ada spesifikasinya juga soal rumah sederhana. Dengan aturan kualitas, bakal sulit terkejar target-target bangun rumah,” jelasnya.
Namun, ada benarnya juga bahwa rekomendasi Bank Dunia tidak bisa diterapkan di Indonesia secara umum karena kondisi tiap wilayah beda-beda dengan sifat orang-orangnya yang juga beragam.
Baca Juga
“Jadi, kalau Bank Dunia merekomendasikan BP2BT ya, karena itu programnya mereka aja, sekalian promosi. Kalau soal kualitas juga kan relatif, kalau mau disamakan dengan rumah murah di negara lain ya, susah,” tutur Panangan.