Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah ekonom dan Dewan Ekonomi Nasional mendorong pemerintah maupun BPS untuk segera mengadopsi standar kemiskinan baru, sebagaimana Bank Dunia memperbarui acuan garis kemiskinan pada Juni 2025 lalu.
Perubahan standar garis kemiskinan memiliki konsekuensi besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena belanja sosial akan meningkat pesat. Namun, pengkinian data perlu dilakukan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira tak menampik apabila Badan Pusat Statistik (BPS) dapat merevisi garis kemiskinan termasuk miskin ekstrem, maka lebih banyak penerima manfaat dari bantuan sosial atau program khusus pengentasan miskin ekstrem.
“[Ini] memastikan orang miskin ekstrem tidak kembali jadi miskin karena tekanan ekonomi saat ini meningkat. Data yang akurat menjadi kunci keberhasilan program,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (28/7/2025).
Pasalnya, perbedaan data yang BPS gunakan saat ini Bhima nilai sangat berpengaruh sekali ke kemiskinan ekstrem karena selisih garis kemiskinanya cukup jauh dengan Bank Dunia.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menuturkan memang tujuan dari pengkinian data yang disesuaikan dengan realitas yang ada menjadi penting bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan.
Baca Juga
Meski belanja sosial menjadi konsekuensi, tetapi data memang harus menunjukkan kondisi sebenarnya, bukan justru disamarkan bahkan dipalsukan.
“Kalau datanya palsu, datanya itu bias, tidak benar, kebijakannya akan bias,” tegasnya.
Sekalipun angka kemiskinan pasti naik apabila menuruti rekomendasi Bank Dunia, Esther memandang hal itu justru menjadi pemantik bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan pengentasan kemiskinan.
Bisa jadi, kata Esther, dengan standar saat ini menilai sejumlah orang tidak termasuk miskin sehingga tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah dan ekonominya tertekan. Padahal, pemutusan hubungan kerja (PHK) merajalela dan jumlah kelompok menengah susut, disusul daya beli yang lesu.
“Itu kan real measurement yang mencerminkan memang kondisinya seperti ini.. Biasanya pemerintah enggak mau [menaikkan standar] karena nanti angka kemiskinan naik, dianggap gagal. Padahal enggak,” lanjut Esther.
Esther memandang salah satu kunci utama keberhasilan meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin, yakni melalui pendidikan. Melihat program Sekolah Rakyat yang diusung Prabowo Subianto, Esther berharap akses pendidikan akan semakin terbuka bagi penduduk kategori 8,47% tersebut.
Belum Gunakan Standar Kemiskinan Baru
Dalam rilis pekan lalu, BPS masih menggunakan purchasing power parity (PPP) 2017 senilai US$2,15 per kapita per hari untuk miskin ekstrem. Sementara garis kemiskinan senilai Rp609.160 per kapita per bulan.
Padahal, Bank Dunia mengungkapkan bahwa ambang batas garis kemiskinan di Indonesia—sebagai negara berpenghasilan menengah atas—sejumlah Rp1.512.000 per orang per bulan.
Melalui PPP 2021, kini garis kemiskinan ekstrem/negara berpendapatan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari (sekitar Rp546.400 per orang per bulan), garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari (sekitar Rp765.000 per orang per bulan), dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari (Rp1.512.000 per orang per bulan).
Meski klaim telah mengadopsi ketentuan baru dari Bank Dunia, tetapi itu hanya berlaku untuk kemiskinan ekstrem dan bukan menaikkan standar kemiskinan. Di mana BPS hanya mengadopsi penghitungan dari semula hanya berbasis pada Indeks Harga Konsumen (IHK), kini menggunakan spacial deflator.
Metode baru ini mencerminkan perbedaan harga antarwilayah di Indonesia, bahkan sampai kabupaten dan kota.
Ada beberapa komponen dan perlu hati-hati, karena tidak dapat membandingkan langsung dengan pengeluaran dari Survei Ekonomi Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas). Untuk itu, angka yang ada harus di-deflate terlebih dahulu dengan Kondisi 2017.
Adapun, Poverty and Inequality Platform Bank Dunia menyebutkan jika menggunakan perhitungan PPP 2021 yang mana garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas sebesar US$8,30 maka persentase penduduk miskin di Indonesia melonjak ke 68% dari total populasi pada 2024.
Sementara jumlah penduduk Indonesia sebanyak 285,1 juta berdasarkan Susenas 2024 Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan demikian berdasarkan standar Bank Dunia, 68% penduduk miskin Indonesia setara dengan 193,8 juta orang. BPS sendiri tidak menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia dalam mencatat garis kemiskinan nasional.
Oleh sebab itu, jumlah penduduk miskin versi BPS jauh lebih rendah daripada versi Bank Dunia yaitu 'hanya' sebesar 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi per September 2024.
Standar Baru Bakal Digunakan Tahun Depan
Direktur Statistik Ketahanan Sosial BPS Nurma Midayanti menyampaikan bahwa Bank Dunia sendiri menyatakan suatu negara dapat menetapkan sendiri bagaimana pengitungan kemiskinannya karena akan berkaitan dengan intervensi.
Nurma menyampaikan bahwa garis kemiskinan internasional alias Internastional Poverty Line milik Bank Dunia tidak dapat langsung diterapkan di Indonesia. Di mana BPS menggunakan pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach).
BPS terakhir kali merevisi komoditas yang dibelanjakan dalam penghitungan kemiskinan pada 1998. Untuk itu, pihaknya akan melakukan penyesuaian, utamanya terkait perilaku konsumsi masyarakat yang kini sudah jauh berbeda dari dua dekade lalu.
“Menuju penyempuran metode kemiskinan, kami akan lakukan di tahun depan,” ujarnya, Jumat (25/7/2025).