Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perbudakan ABK Kapal China, Menanti Skema Bisnis Baru

Belajar dari kasus perbudakan ABK di kapal China, perlu ada skema baru dalam 'menjual' jasa manajemen kapal agar tidak ada celah eksploitasi pekerja.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (tengah) didampingi Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos Harry Hikmat (kiri) saat meninjau kondisi ABK WNI yang ditampung di RPTC Bambu Apus, Jakarta, Minggu (10/5/2020).Antara-Humas Rehsos
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (tengah) didampingi Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos Harry Hikmat (kiri) saat meninjau kondisi ABK WNI yang ditampung di RPTC Bambu Apus, Jakarta, Minggu (10/5/2020).Antara-Humas Rehsos

Bisnis.com, JAKARTA - Viralnya kasus pelarungan atau dilemparnya ke laut jenazah dua orang anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal berbendera China menjadi pelajaran tersendiri mengenai pilihan mengekspor tenaga kerja. Indonesia dapat beralih dari mengekspor tenaga kerja ABK menjadi ekspor jasa manajemen kapal yang terbilang menjanjikan.

Kasus ABK Indonesia yang diduga mengalami eksploitasi di kapal ikan berbendera China dapat menjadi momentum untuk membenahi tata kelola penempatan pekerja migran Indonesia.

Saat ini sudah ada 14 ABK Indonesia yang sempat bekerja di Kapal Long Xing 629 untuk mengonfirmasi laporan dugaan eksploitasi yang mencuat setelah viral video pelarungan jenazah ABK warga negara Indonesia (WNI) di atas kapal berbendera China.

Cerita diskriminasi pun didapat bagaimana mereka mendapatkan perlakukan diskriminasi, seperti meminum air laut sementara awak lain minum air dari kemasan. Di antara mereka juga mengaku mengalami kekerasan pemukulan selama 14 bulan berada di kapal tersebut.

Selain itu, beberapa dari para ABK tersebut tidak pernah mendapatkan upah selama bekerja, sedangkan yang lain menerima 3 bulan gaji meski sudah bekerja selama 14 bulan.

Diskriminasi terhadap ABK asal Indonesia ini menjadi cerita pilu lainnya dari banyaknya cerita tenaga kerja Indonesia yang dieksploitasi terutama kisah-kisah tak asing yang bekerja sebagai asisten rumah tangga. Adapun, yang sedikit berbeda kasus ini datang dari aktivitas angkutan laut.

Ketua Yayasan Asosiasi Pemilik Pelayaran Nasional Indonesia atau Indonesian National Shipowners Association (INSA) Theo Lekatompessy turut mengomentari kejadian ini. Namun, dia tidak melihatnya dari perspektif tenaga kerja, melainkan dari perspektif lain.

Kasus ini menurutnya, menjadi gambaran bagaimana eksodus TKI ke luar negeri dan berujung 'dieksploitasi' di luar negeri. Padahal, ada skema lain yang bahkan dapat lebih 'terhormat' yang bisa dijalani oleh tenaga kerja asal Indonesia.

Skema yang dimaksud yakni skema menjual jasa. Dalam kasus ABK, menjual jasa yang dapat dilakukan adalah menjual jasa manajemen kapal.

"Best practice untuk kapal-kapal komersial yang seperti kapal tanker yang mengangkut gas, mengangkut minyak, serta bahan kimia atau cruise, itu kerja di cruise enak kerjanya, itu tidak pernah ada masalah," jelasnya kepada Bisnis.com, Selasa (12/5/2020).

Menurutnya, skema menjual jasa ini merupakan pilihan bagi tenaga kerja agar berketerampilan madya dan tinggi. Alumninya pun tidak perlu lulusan perguruan tinggi, cukup setingkat SMK.

Dia menyebut salah satu yang tengah dikerjakan salah satu perusahaan penyedia jasa manajemen kapal ini adalah mengelola kapal Jepang yang mengangkut gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG).

"Ada tanker-tanker LNG, kapten kapal-kapal kami disewa oleh kapal-kapal luar negeri, seperti Jepang dan gajinya kapten kapal sebulan di atas US$2.000," tandasnya.

Kapal Longxing 802 milik Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.
Kapal Longxing 802 milik Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.

Kapal Longxing 802 milik Dalian Ocean Fishing Co., Ltd. Foto wcpfc.int

Dia menerangkan skema ini dapat dibuat lebih masif di Indonesia, pasalnya ada berbagai keuntungan yang didapat, diantaranya tidak ada aktivitas menjual tenaga kerja ke luar negeri, yang ada jasa yang dijual bukan pekerjanya.

Aktivitas ini pun termasuk dalam ekspor jasa yang dapat membantu memperbaiki neraca transaksi Indonesia. Pertama, para pekerja terangnya merupakan orang-orang terdidik, banyak diantaranya yang lulusan SMK misalkan dengan jurusan tata boga atau mereka berasal dari Sekolah Tinggi Pelayaran.

"Kedua, mereka punya sertifikasi yang diakui secara internasional, contohnya di aktivitas laut terdapat IMO [International Maritim Organization]. Sertifikasi setiap orang bisa ada puluhan sertifikasi, tak cuma satu," paparnya.

Ketiga, para pekerja juga direkrut oleh perusahaan yang baik, yang izinnya pun tidak mudah, melalui keterlibatan kementerian teknis seperti Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

"Selain itu, jasa yang dijual itu dalam konteks pengelolaan kapal. Gedung apartemen, beli misalnya beli, lalu saya kelola setiap tahun ada return 8 persen tinggal 2 minggu setahun dipakai penggunanya, katakanlah pengelolanya Mercure, Mariot," jelasnya.

Di sisi lain, karena pekerja merupakan karyawan perusahaan asal Indonesia, sehingga pajak penghasilannya pun masuk ke kas negara. Hal ini tentunya, menjadi nilai positif tersendiri bagi negara.

Mudahnya, daripada Indonesia sekedar mengekspor tenaga kerjanya, terutama di bidang kemaritiman. Sudah ada contoh terbaik, dimana tenaga kerja ini dialihkan bukan lagi menjual tenaga kerja tetapi jasanya, sebagai satu entitas yang bonafide.

Sudah waktunya Indonesia bergeser dari kebiasaan mengekspor barang mentah menjadi barang jadi siap pakai, baik dari sisi barang maupun jasanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper