Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia DKI Jakarta mengeluhkan Penerapan Aturan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 72 yang dinilai semakin memberatkan kinerja para pengembang.
Ketua Umum Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia (DPD REI) DKI Jakarta Arvin F. Iskandar mengatakan bahwa aturan yang telah diterapkan sejak awal tahun ini menyebabkan adanya ketidakpastian dari para pengembang properti.
Berbeda dengan aturan sebelumnya,Penerapan Aturan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan [PSAK] 72 mengharuskan suatu proyek dapat dibukukan menjadi pendapatan apabila telah dilakukan serah terima.
Menurutnya, aturan ini sangat mempengaruhi kinerja keuangan para perusahaan properti yang dikhawatirkan juga berefek secara domino seperti dengan perbankan yang memiliki banyak keterkaitan dengan pengembang.
"Ketidakpastiannya mengenai peraturan-peraturan di PSAK 72 ini, dengan kondisi yang masih wait and see, laporan keuangan jelek, perbankan malah menjauhi kita sebagai developer," katanya, Kamis (27/2/2020).
Namun, Arvin menyatakan bahwa yang paling terdampak pada aturan ini sebetulnya adalah perusahaan terbuka alias yang sudah melantai di bursa efek.
Baca Juga
"Kita tak bisa membayangkan apa yang terjadi bagi teman-teman kita yang sudah jadi anggota bursa. Apa jadinya terhadap laporan keuangannya apabila tidak dapat diakui didalam revenue-nya, tetapi untuk biaya atau cost diakui," tuturnya.
Arvin juga mengatakan bahwa sebelum aturan ini diterapkan, pihaknya sudah mencoba berdiskusi dengan pihak terkait agar menangguhkan sementara penerapan PSAK 72 tersebut. Hanya saja, percobaan itu berujung sia-sia.
Surat yang ditujukan pada Kementerian Keuangan dan otoritas terkait lainnya tersebut pada tahun lalu tak berujung pada ditundanya penerapan PSAK 72.
"Kami asosiasi mengimbau kalau bisa peraturan itu jangan dijalankan dulu. Kita sudah tulis surat ke otoritas dan Kemenkeu agar menundanya terlebih dahulu," ujar dia.
Akibat penerapan itu, imbuhnya, sebagian strategi perusahaan properti adalah dengan menambah portofolio di subsektor residensial yang menyasar target kelas menengah ke bawah.
Alasannya, pembangunan residensial seperti rumah tapak dianggap lebih singkat dibandingkan dengan proyek high rise seperti apartemen.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk (DILD) Theresia Rustandi mengatakan bahwa aturan itu berdampak pada angka penjualan dan keuntungan terutama pada proyek apartemen yang memakan waktu lama dalam pembangunannya.
Menurutnya, pengakuan penjualan berasal dari progres pembangunan proyek yang sudah diserahterimakan membuat laporan keuangan menjadi seperti tidak riil.
"PSAK 72 ini catatnya tidak boleh sekarang by progress, tapi harus tunggu selesai baru bisa dicatat sebagai revenue, sementara kita harus catatnya sebagai advance payment," ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini.
Menurutnya, aturan ini sebetulnya tidak tepat untuk diimplementasikan di saat kondisi industri properti masih belum pulih. Terlebih, aturan ini lebih menyasar pada perusahaan terbuka.
Theresia juga mengatakan bahwa aturan ini memungkinkan adanya salah tafsir ketika perusahaan dianggap rugi, padahal perusahaan tersebut diharuskan mencatatkan seperti yang tertuang di PSAK 72.
"Kalau saya bangun apartemen dan baru selesai empat tahun lagi, jadi empat tahun kemudian itu tiba-tiba revenue naik, sedangkan sekarang yang gede advance payment. Ini yang membuat laporan keuangan seperti tidak riil," ungkapnya.