Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dilema Penurunan Harga Gas dan Potensi Penerimaan Negara

Pemerintah belum memutuskan akan menggunakan formula seperti apa untuk dapat menjalankan mandat Peraturan Presiden No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Ilustrasi - Pipa gas indsutri./ANTARA-FB Anggoro
Ilustrasi - Pipa gas indsutri./ANTARA-FB Anggoro

Bisnis.com, JAKARTA – Wacana menurunkan harga gas industri menjadi US$6 per million British Thermal Units (mmbtu) dinanti pelaku usaha.

Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah belum memutuskan akan menggunakan formula seperti apa untuk dapat menjalankan mandat Peraturan Presiden No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Beragam usulan datang, mulai dari menurunkan harga gas di bisnis hulu, peninjauan tarif biaya angkut melalui pipa (toll fee), hingga pemangkasan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Terkait pemangkasan PNBP, Direktur PNBP Sumber Daya Alam (SDA) dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND) Kemenkeu Kurnia Chairi mengakui belum ada keptusan untuk mengorbankan PNBP dari sektor migas.

Kendati demikian, Kurnia membenarkan adanya usulan tersebut untuk mewujudkan skema harga gas industri pada level US$6 per MMbtu.

“Memang ada usulan tentang pentingnya penurunan harga gas untuk industri, agar meningkatkan competitiveness-nya di masa mendatang, juga untuk implementasi Perpres 40/2016, sehingga masih dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (24/2/2020).

Di sisi lain, Anggota Komisi VI Evita Nursanty mengatakan untuk melaksanakan Perpres No.40/2016, pemerintah juga diminta selektif dalam menetapkan indutri penerima insentif penurunan harga gas.

"Perpres 40 dukungan pemerintah untuk pelaku industri, mapingnya kan sedang dibuat," kata Evita.

Menurutnya, industri yang berhak menerima insentif harus bersal dari dalam negeri, sehingga dapat memajukan industri nasional.

 "Saya menekankan siapa yang berhak menerima, itu nggak boleh modal asing," imbuhnya.

Evita pun mengingatkan, pemerintah berhati-hati dalam menetapkan tujuh golongan industri yang mendapatkan insetif harga gas. Agar insentif diberikan ke industri yang berhak.

"Hati-hati dalam menetapkan ini," ujarnya.

Terpisah, Anggota Komisi XI DPR Ramson Siagian mengatakan bahwa PNBP dari sektor migas diproyeksikan berkurang terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020.

“Ya ini memang konsekuensinya, maksud saya harus mencari peningkatan penerimaan negara juga termasuk PNBP di sektor lain,” katanya.

Untuk itu, pihaknya mengumpulkan perusahaan-perusahaan dari sektor tambang non-migas untuk mengetahui potensi PNBP dari sektor tersebut.

Namun, Ramson mengungkapkan bahwa sektor tambang non-migas masih memberikan kontribusi yang rendah terhadap PNBP negara. Dia menyebut pada 2019, PNBP dari sektor tambang non-migas hanya berkontribusi sekitar Rp26 triliun.

“Makanya perlu didiskusikan lagi dengan Kemenkeu sebagai wakil pemerintah apakah royalti itu terlalu rendah atau bagaimana, nah itu pembahasan untuk mendapatkan referensi atau data-data dari potensi PNBP dari sumber daya alam non-migas,” ujarnya.

Anggota dewan Fraksi Gerindra ini pun khawatir sektor industri yang menikmati harga gas industri tersebut tidak dapat menambah pengurangan PNBP dari sektor migas.

Untuk itu, pengurangan harga gas itu nantinya diharapkan dapat menggenjot daya saing industri dan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik.

“Ya mereka harus kompetitif, misalnya industri pupuk, harus turun harga pupuk, supaya subsidinya tidak besar, memang pupuk raw materialnya cukup banyak yang menggunakan gas, kalau [industri] yang lain harus menggerakkan ya,” tambahnya.

MENAGIH DAYA SAING

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengakui membutuhkan kajian mendalam untuk memastikan apakah daya saing meningkat setelah harga gas diturunkan.

Berdasarkan data PT Perusahaan Gas Negara Tbk, volume konsumsi gas pada Desember 2019 sebesar 827,4 MMbtu. Dari total volume konsumsi gas pada  konsumen industri sebesar 445,80 MMbtu atau sekitar 53,89 persen, dengan konsumen terbesar industri kimia sebesar 120,20 MMbtu atau sekitar 14,53 persen dengan jumlah konsumen sebanyak 322 pelanggan.

Sementara itu, volume konsumsi gas pada konsumen non-industri sebesar 381 MMbtu atau sekitar 46,11 persen, dengan jumlah pelanggan terbesar PLN sebesar 340,6 MMbtu atau sekitar 41,05 persen, dengan jumlah pelanggan 1 konsumen.

Dari gambaran awal tersebut, Fahmy mengatakan penurunan harga gas belum menjamin akan meningkatkan daya saing industri. Pasalnya, volume konsumsi per konsumen pada industri, utamanya konsumen industri Kimia, relatif masih kecil.

“Kalau benar bahwa penetapan harga gas industri sebesar US$ 6 MMbtu tidak menaikkan daya saing industri, kebijakan harga gas itu justru hanya membebani bagi Pemerintah dan industri gas, baik di hulu, maupun di midterm,” katanya.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper