Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Selain Harga Gas, Tarif Listrik Juga Membebani Produsen Billet Baja

Kebijakan diskon 30 persen tarif listrik industri pada tengah malam juga belum akan membantu daya saing billet baja lokal. Waduh, lalu apa yang diperlukan industri?
Seorang pekerja berjalan melewati gulungan baja di pabrik baja ArcelorMittal di Sestao, Spanyol, 12 November 2018. Reuters /Vincent West
Seorang pekerja berjalan melewati gulungan baja di pabrik baja ArcelorMittal di Sestao, Spanyol, 12 November 2018. Reuters /Vincent West

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) mengajukan penurunan tarif listrik yang juga mengikuti penurunan tarif gas.

Asosiasi menilai hal tersebut penting untuk memberikan insentif pada pabrikan antara baja memproduksi billet baja alih-alih melakukan impor. 

Wakil Ketua Umum IISIA Ismail Mandry mendata saat ini pabrikan peleburan baja menerima tarif listrik sekitar US$8 sen-US$9 sen/kWh. Ismail menyatakan kebijakan diskon 30 persen tarif listrik industri pada tengah malam juga belum akan membantu daya saing billet baja lokal.

"Tarif listrik di luar US$3 sen-US$4 sen/kWh. Karena flat base-nya  sekarang pada 2020 dinaikkan, jadi tidak menaik lagi karena [tarif listrik kompetitif] tidak bisa dicapai. Kenapa tidak diturunkan flat base-nya supaya kami ikut [mendapatkan manfaat]?" katanya kepada Bisnis, Rabu (26/2/2020). 

Ismail menambahkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tengah mempertimbangkan permintaan penurunan tarif dasar tersebut. Pasalnya, lanjutnya, PLN memiliki potential loss dalam jumlah besar jika pabrikan peleburan baja tidak memproduksi billet baja. 

IISIA mendata pabrikan besi dan baja konstruksi (long product) mengonsumsi sekitar 2 miliar kWh listrik per tahun untuk memproduksi 4 juta ton billet baja. Konsumsi listrik tersebut membuat pabrikan baja long product merogoh sekitar Rp2,1 triliun per tahunnya.

Gabungan Industri Produk Kawat Baja Indonesia (GIBKABI) menilai rendahnya daya saing pabrikan baja nasional dibandingkan produk impor adalah tingginya tarif energi di dalam negeri. Sindu berujar tingginya tarif energi nasional membuat biaya produksi tinggi. Alhasil, produk lokal kalah bersaing dengan produk impor. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper