Bisnis.com, JAKARTA — Utilitas industri keramik nasional tidak kunjung beranjak jauh dari kisaran 60 persen atau masih jauh dari target yang dipatok mencapai 90 persen pada akhir 2019, kendati sejak akhir tahun lalu industri ini telah didukung dengan tindakan pengamanan guna menangkal tekanan impor.
Pelaku industri pun berharap agar pemerintah bisa mengambil kebijakan nontarif atau non-tariff measures (NTM) berupa pembatasan kuota guna menangkal serangan impor yang kembali meningkat dan mengancam produsen dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan bahwa pada 2018, utilitas produksi industri keramik hanya mencapai 60 persen. Namun, asosiasi optimistis pemanfaatan kapasitas itu bisa meningkat setelah pemerintah menerapkan pengamanan (safeguard) untuk impor keramik China pada Oktober 2018.
Setidaknya, utilitas kapasitas produksi pada tahun ini bisa menyamai capaian 2014, yakni 90 persen. Namun, realisasinya hanya mencapai kisaran 65 persen atau bahkan di bawah itu sebab pada tahun ini terjadi sejumlah penutupan lini produksi di sejumlah pabrik anggota Asaki.
"Kenyataannya tidak sesuai ekspektasi Asaki. Ternyata hanya sekitar 65 persen atau safeguard tidak memberikan dampak signifikan," ujarnya, Selasa (17/12/2019).
Terkait dengan impor produk China, Edy mengatakan bahwa data yang diperoleh Asaki dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada periode Januari—September 2019 terjadi penurunan hingga 40 persen. Namun, pihaknya melihat ada tren pemulihan impor China pada setiap kuartal.
Baca Juga
Dia mengatakan bahwa data yang sama menunjukkan nilai impor keramik dari Negeri Panda pada kuartal III/2019 meningkat sekitar 40 persen dibandingkan dengan kuartal II/2019 dan naik 32 persen dari kuartal I/2019.
Menurutnya, peningkatan kembali arus impor terjadi dengan sejumlah langkah yang diambil oleh produsen keramik China, termasuk mengurangi ketebalan produknya untuk menekan biaya produksi, logistik dan juga harga jual.