Bisnis.com, JAKARTA — Dalam rangka mengatasi kekurangan kuota Fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan, pemerintah mendorong pemanfaatan skema bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan. Namun, skema tersebut dinilai masih tidak akan populer di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Yoyo Sugeng Triyogo mengatakan bahwa setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) masih tidak populer di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Pertama, karena sebenarnya suku bunga BP2BT adalah komersial. Kemudian, sertifikat laik fungsi (SLF) yang diminta Dinas PU daerah justru belum siap dilaksanakan seluruh daerah.
“Hanya beberapa kabupaten/kota saja yang benar-benar sudah siap,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (9/10/2019).
Selain itu, ketentuan yang mengatur bahwa minimum posisi tabungan untuk konsumen MBR dalam jangka waktu 6 bulan sejak pengajuan juga dinilai memberatkan.
Faktor berikutnya ialah adanya keyakinan dari masyarakat terhadap realisasi janji Presiden Jokowi terkait dengan penambahan kuota fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).
Baca Juga
Yoyo mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi telah menyetujui untuk menambah anggaran FLPP sebesar Rp2 triliun atau untuk 20.000 unit rumah.
“MBR masih menunggu turunnya juknis [petunjuk teknis] tersebut ke pihak bank penyalur,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum Apersi Junaidi Abdillah mengatakan agar program BP2BT bisa berjalan secara efektif, pemerintah harus memberi relaksasi, khsususnya terkait dengan ketentuan SLF dan kewajiban tabungan untuk konsumen MBR.
“Harapan kami kewajiban tabungan itu bisa direlaksasi jangan 6 bulan, tetapi menjadi 1 bulan,” ujarnya.