Bisnis.com, JAKARTA - Keingingan pemerintah RI mengevaluasi perjanjian bilateral Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) tak kunjung terpenuhi.
Pasalnya pertemuan pada September 2014 antara Kementerian Perindustrian dengan perwakilan Jepang baru sekadar membahas term of reference (TOR).
Padahal, Indonesia ingin bicara lebih mendalam guna menentukan kerangka kerja sama selanjutnya, sehingga dapat dilihat sektor industri RI mana saja yang masih merugi.
Direktur Kerjasama Industri Internasional Wilayah II dan Regional Kemenperin Restu Yuni Widayati mengatakan pihaknya menginginkan evaluasi menyeluruh atau general review tetapi Jepang menginginkan dibuat spesifik item saja.
"Kami ingin secepatnya karena semakin cepat dievaluasi semakin bagus. Tapi mereka [Jepang] maunya menunda," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Selasa (7/10/2014).
Dampak tak sehat bagi perkembangan industri akibat IJEPA tampak pada impor dari Jepang terus menanjak. Oleh karena itu Indonesia menginginkan evaluasi menyeluruh segera dilakukan agar kekurangan yang ada dapat diperbaiki.
Jika dilihat secara keseluruhan, kontribusi Negeri Sakura terhadap perekonomian RI terlihat positif. Selama semester I/2014, investasi dari Jepang senilai US$1,5 miliar atau terbanyak kedua setelah Singapura.
Restu berpendapat masuknya investasi tak mengindikasikan dampak positif dari IJEPA. Di sektor otomotif, misalnya, besarnya penanaman kapital memang karena pasar RI merupakan sasaran empuk korporasi asal Negeri Sakura.
"Masih ada beberapa produk kategori R yang masih ditutup oleh Jepang, sehingga kita kena tarif yang tinggi jika ekspor. Penerunan tarif ini juga yang akan kami bicarakan dengan Jepang," ucapnya.
Kemenperin mencatat sejak 2008 - 2012 impor dari Negeri Sakura tumbuh sekitar 50% per tahun. Tapi penjualan ke negara itu alias ekspor cuma meningkat 6% per tahun. Pada tahun lalu neraca perdagangan nonmigas RI - Jepang bahkan defisit US$5,49 miliar, setahun sebelum disahkan IJEPA RI surplus US$6,62 miliar.
Pada sisi lain pemanfaatan preferential tariff (berdasarkan surat keterangan asal/SKA) dalam mekanisme IJEPA juga relatif rendah. Pada 2008, SKA yang memanfaatkan IJEPA hanya 15,25% terhadap total ekspor manufaktur nasional. Berurutan pada 2009, 2010, dan 2011, SKA berbasis IJEPA 28,16%, 21,30, dan 27,63%.