Bisnis.com, JAKARTA--Kementerian Perhubungan turut berperan dalam menciptakan krisis dunia penerbangan Indonesia yang ditandai dengan maskapai Tigerair Mandala yang berhenti beroperasi 1 Juli 2014.
Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan pada dekade 2000-an saat penerbangan Low Cost Carriers (LCC) mulai marak, Kementerian Perhubungan memberikan kemudahan izin operasional bagi maskapai yang hanya memiliki 2 unit pesawat.
Hal tersebut menurutnya menyebabkan iklim dunia usaha penerbangan berjadwal menjadi tidak sehat karena sewaktu-waktu maskapai tersebut bisa saja berhenti melayani rute penerbangan yang telah diizinkan karena bisa terdampak kenaikan bahan bakar maupun depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar.
“Kalau mau sehat, semestinya ada ketentuan minimal maskapai harus punya lima pesawat saat mulai beroperasi. Bisa dua unit milik sendiri, tiga unit sewa atau sebaliknya dua sewa, tiga milik sendiri. Jadi tidak seenaknya seperti saat ini,” katanya, Jumat (20/6/2014).
Dengan lima pesawat, menurutnya utilitas pesawat bisa dimaksimalkan untuk mendorong pendapatan maskapai sehingga maskapai bisa bertahan jika ada kenaikan bahan bakar maupun depresiasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS.
Selain merevisi aturan tentang jumlah minimal armada, lanjutnya, perlu juga dibuat suatu aturan yang mewajibkan maskapai penerbangan untuk menyimpan dana jaminan dengan besaran jumlah tertentu pada sebuah lembaga keuangan.
Dana jaminan itu katanya, bisa digunakan sewaktu-waktu untuk membayar pesangon karyawan jika maskapai tersebut memutuskan untuk berhenti beroperasi sehingga nasib karyawan tidak terombang-ambing seperti yang dialami maskapai Batavia Air.
Dia juga menekankan pentingnya perbaikan infrastruktur fisik di bandara maupun sistem navigasi lalu lintas udara agar pesawat tidak berlama-lama mengantre saat masih di udara maupun di bandara karena bisa menyebabkan pemborosan bahan bakar.
“Jika aturan mendasar yang bisa mendorong maskapai penerbangan di Indonesia lebih kuat tidak disiapkan, maka dalam era Open Sky 2015 maskapai dalam negeri sulit bersaing dengan maskapai dari luar,” tambahnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Perhubungna Udara Santoso Eddy Wibowo mengatakan jajarannya juga tidak menginginkan ada maskapai lain yang tumbang karena mengalami tekanan akibat kenaikan biaya bahan bakar serta terdampak nilai tukar mata uang.
Akan tetapi selaku regulator yang menyeimbangkan kepentingan operator dan masyarakat luas, pihaknya masih mencari solusi tepat untuk membantu maskapai agar bisa bertahan misalnya merevisi tariff batas atas.
“Kami masih mempertimbangkan besaran tarif batas atas karena jika terlampau tinggi bisa memberatkan masyarakat,” katanya.
Di luar itu, pihaknya tidak memiliki wewenang untuk memberikan bantuan seperti menekan biaya parkir dan handling serta biaya navigasi lantaran dua hal tersebut merupakan kewenangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Angkasa Pura dan Air Navigasi Indonesia.