BISNIS.COM, JAKARTA - Persoalan teknologi dan kondisi geografis di Indonesia menjadi kendala dalam pengembangan shale oil sebagai gas nonkonvesional untuk menggantikan minyak konvensional yang cadangannya kian menipis.
Elan Biantoro, Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan saat ini belum ada kontraktor kerja sama (KKKS) yang melakukan uji kelayakan (feasibility study/FS) untuk mengembangkan shale oil. Alasannya, saat ini pihaknya masih fokus kepada upaya pengembangan shale gas untuk sebagai pengganti gas konvensional.
“Sekarang ini kami baru mulai dengan shale gas, mungkin shale oil setelah itu nanti. Tetapi saat ini memang belum ada perusahaan yang menyatakan ingin mengembangkan shale oil,” katanya di Jakarta, Selasa (14/5/2013).
Oil shale merupakan batuan sedimen yang mengandung material organik yang apabila di-retort pada suhu 550°C akan menghasilkan minyak.
Elan mengungkapkan saat ini baru Amerika Serikat yang mengembangkan shale oil dengan teknologi perekahan (fracturing technology). Dari teknologi yang digunakan di wilayah North Dakota itu, Amerika Serikat telah berhasil memproduksi shale oil sebanyak 700.000 barel per hari.
Akan tetapi, lanjut Elan, pengembangan shale oil selama ini dilakukan di daratan (onshore). Padahal, potensi gas di dalam negeri terbagi-bagi di onshore dan lepas pantai (offshore), sehingga perlu dipikirkan kemampuan teknologi dan teknis untuk menyelesaikan persoalan itu.
“Kalau dilihat dari kompleksitas dan teknisnya kan potensi migas kita terbagi di onshore dan offshore. Selama ini shale oil baru dikembangkan di onshore, ini dapat menjadi masalah tersendiri,” ungkapnya.
Elan mengungkapkan saat ini proyek pengembangan gas metana batu bara (coalbed methane/CBM) dan shale gas masih diutamakan dalam pengembangan minyak dan gas nonkonvensional di dalam negeri. Cadangan kedua jenis gas nonkonvensional itu diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri puluhan tahun ke depan.
Dirjen Migas Kementerian ESDM Edy Hermantoro sebelumnya mengatakan pemerintah sedang mengkaji potensi shale oil di dalam negeri. Untuk itu, Pemerintah akan mengundang investor asal Amerika Serikat yang telah memiliki pengalaman mengembangkan shale oil untuk mengembangkannya di dalam negeri.
Edy berharap Indonesia dapat memproduksi shale oil seperti dalam waktu dekat untuk, sehingga melengkapi CBM dan shale gas sebagai potensi migas nonkonvensional. “Secara teknis, kalau gas sudah melewati masanya akan berubah menjadi cair. Karenanya, potensi shale oil di dalam negeri bisa saja sebesar shale gas,” jelasnya.
Cadangan CBM di dalam negeri diperkirakan sebesar 574 triliun kaki kubik, dan cadangan shale gas mencapai 453 triliun kaki kubik. Bahkan saat ini telah ada 0,5 juta kaki kubik per hari (MMscfd) CBM dari area yang dikelola Vico Indonesia di Kalimantan Timur.
Pemerintah sendiri telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 5/2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Migas Nonkonvensional yang mengatur pengusahaannya.
Dalam Permen tersebut disebutkan migas nonkonvensional berasal dari reservoir dengan permeabilitas rendah, antara lain shale oil, shale gas, CBM dan methane-hydrate yang diproduksi dengan menggunakan teknologi seperti perekahan. (mfm)