BISNIS.COM, JAKARTA--Pemerintah diminta segera memberikan fasilitas fiskal kepada perusahaan yang berniat membangun kilang pengolahan, karena pembangunannya memerlukan investasi yang tinggi dengan keuntungan yang sedikit.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan besarnya investasi yang diperlukan untuk membangun kilang pengolahan menyebabkan pengusaha meminta insentif fiskal. Karenanya, pemerintah harus segera memutuskan apakah akan memberikan insentif atau tetap mengimpor bahan bakar minyak (BBM).
“Tantangan pemerintah saat ini adalah apakah ingin mendanai atau memberikan fasilitas fiskal terhadap bisnis kilang yang kurang menguntungkan, tetapi berguna untuk jaminan pasokan energi atau tetap melakukan impor BBM,” katanya di Jakarta hari ini, Rabu (17/4/2013).
Fabby mengungkapkan kapasitas kilang pengolahan di dalam negeri yang saat ini sebesar 900.000 barel per hari harus ditambah, karena konsumsi BBM dalam negeri mencapai 1,3 juta barel per hari.
Selain itu, tata kelola sektor minyak dan gas bumi dalam negeri harus segera diperbaiki dengan cara memperbaiki struktur harga BBM bersubsidi. Pasalnya, banyak investasi di sektor energi, seperti pembangunan kilang pengolahan yang memerlukan kepastian harga BBM agar dapat memasarkan produk hasil pengolahannya.
Selain itu, Fabby juga menyampaikan sebaiknya pemerintah memang menggandeng pihak swasta untuk mengembangkan kilang pengolahan. “Kalau membangun kilang dengan APBN saya kira itu juga tidak bijak. Selain itu, pembangunan kilang ini juga harus memikirkan aspek bisnisnya dan terintegrasi dari hulu ke hilir,” jelasnya.
Sebelumnya, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang P.S Brodjonegoro mengatakan hingga kini rencana pembangunan kilang pengolahan, baik yang direncanakan oleh pemerintah (menggunakan dana APBN) maupun yang diajukan PT Pertamina (Persero) bersama investor belum ada yang diputuskan.
“Sekarang kita ingin diskusi lagi dengan Pertamina. Sekarang itu, opsinya apakah kita ingin bangun sendiri yang menggunakan APBN atau kita mau teruskan dengan investor Kuwait dan Saudi Aramco, atau kita mau dua-duanya (swasta dan pemerintah),” katanya.
Menurutnya, persetujuan rencana pembangunan kilang yang diajukan Pertamina dengan investor memang belum diberikan lantaran permintaan insentif yang berlebihan, atau bisa dikatakan melanggar aturan. Pasalnya, insentif yang diminta banyak yang tidak sesuai aturan.
“Misalnya seperti tax holiday itu kan 10 tahun, ini jauh sampai 20 tahun atau 30 tahun kalau tidak salah. Ini kan susah, nanti kita dibilang melanggar aturan,” tambahnya.
Menurut Bambang, di satu sisi pemerintah tidak ingin melanggar aturan. Artinya, tidak ingin ada masalah hukum, namun di sisi ekonomi juga tidak ingin dirugikan. Adapun permintaan insentif yang diminta oleh para investor tersebut adalah syarat untuk mencapai internal rate of return (IRR).