BISNIS.COM, JAKARTA--Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli menegaskan melambungnya harga berbagai bahan pangan akhir-akhir ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki strategi dan kebijakan yang jelas di sektor pangan.
Situasi tersebut diperparah lagi lagi dengan adanya sistem kuota impor yang tidak transaparan, sehingga memicu terjadinya pat gulipat antara pejabat dan pengusaha penerima lisensi kuota impor yang merugikan rakyat.
“Kalau sistem kuota dihapuskan dan diganti dengan sistem tarif, dipastikan impor kita akan lebih kompetitif. Harga bahan pangan akan lebih murah dan terjangkau oleh rakyat kecil. Saat ini, yang terjadi bukan kenaikan harga, tapi telah lompatan harga atau price jump, pada harga kebutuhan pangan,” kata Rizal Ramli dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis seusai mengunjungi pasar induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (18/3).
Dalam beberapa waktu terakhir sejumlah kebutuhan pangan mengalami lompatan harga. Daging, misalnya, harganya berkisar Rp80.00-90.000/kg, atau dua kali lebih mahal dibandingkan harga di luar negeri. Begitu juga dengan gula, kedelai, beras, dan lainnya. Bahkan harga bawang putih dan bawang merah sempat menembus Rp100.000/kg.
Kondisi ini tidak hanya membuat pusing ibu rumah tangga selaku konsumen, tapi juga para pedagang di pasar karena sulit menjual akibat terlalu mahal.
Menurut Rizal, lompatan harga yang kini terjadi disebabkan bisnis pangan di Indonesia diatur dengan sistem kuota yang tidak transparan dan kompetitif. Pada praktiknya, pembagian kuota impor ini juga terjadi karena pat gulipat antara pejabat dan pengusaha.
Hal ini menjadi sumber pendapatan pejabat dan untuk kepentingan politik. Akibatnya negara dirugikan karena tidak memperoleh penerimaan yang semestinya. Sedangkan rakyat dirugikan karena harus membayar harga pangan lebih mahal daripada harga di luar negeri.
Rizal yang mantan Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog) manyatakan kebijakan pengendalian pasok (demand management) yang selama ini diterapkan pemerintah terbukti tidak efektif. Sebaiknya digantikan dengan sistem pengendalian pasokan (supplay management). Selain itu, pemerintah harus all out memberikan insentif untuk menaikkan produksi.