Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga pemeringkat S&P Global Ratings memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tak sampai 5% pada tahun ini, yakni hanya 4,8%. Sejalan dengan konsumsi rumah tangga dan belanja infrastruktur yang rendah.
Mengutip laporan terbaru S&P, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil yang akan sedikit di bawah 5% ini karena permintaan domestik menunjukkan tanda-tanda melemah pada awal tahun ini. Di mana pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat secara kuartalan maupun tahunan ke level 4,89% pada tiga bulan pertama 2025.
Meski melemah, permintaan domestik masih akan menjadi pendorong utama pertumbuhan dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Hal ini sebagian mencerminkan demografi Indonesia yang menguntungkan.
“Program-program sosial utama yang diimplementasikan pemerintah, termasuk program makanan bergizi gratis dan program perumahan tiga juta unit, seharusnya mulai memperbaiki kondisi ekonomi dasar,” tulis S&P, dikutip pada Rabu (30/7/2025).
Bukan hanya itu, S&P menilai kebijakan belanja pemerintah turut menjadi faktor risiko utama terhadap prospek pertumbuhan ekonomi. Utamanya pengeluaran infrastruktur yang terus-menerus kurang.
“Salah satu penyebab perlambatan tampaknya adalah pengurangan belanja infrastruktur oleh pemerintah,” lanjutnya.
Baca Juga
Lembaga tersebut memandang bahwa pengeluaran alias belanja infrastruktur memiliki multiplier fiskal yang tinggi untuk pertumbuhan, dan membantu mengatasi kendala pasokan dan bottleneck infrastruktur.
Menurutnya, keberadaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diperkirakan akan melakukan sebagian besar pengeluaran infrastruktur, bersama dengan proyek-proyek kemitraan publik-swasta.
Dengan demikian, investasi dari dana kekayaan negara yang baru dibentuk, Danantara, akan membantu mengisi kekosongan dalam belanja infrastruktur. Namun, masih ada kemungkinan risiko terhadap pertumbuhan, terutama untuk periode 2025.
Di samping itu, prospek permintaan eksternal telah melemah sejak pengumuman tarif AS pada 2 April, lalu. Melihat kesepakatan perdagangan antara kedua negara pada awal bulan ini, S&P memperkirakan hal ini akan meredam sebagian dampak tarif AS terhadap Indonesia. Alhasil, hal ini dapat memberikan kepastian bagi bisnis dan investasi.
Dari sisi rata-rata pendapatan di Indonesia, S&P menilai masih lebih rendah dibandingkan kebanyakan negara dengan status kredit yang sama, tetapi meningkat lebih cepat.
“Kami memperkirakan PDB per kapita tahun ini sebesar US$5.000, naik dari US$4.900 pada 2024,” ungkapnya.
Perkiraan ini mencakup proyeksi S&P tentang depresiasi tipis nilai tukar rupiah dari posisi Rp16.162 per dolar AS (2024) ke level Rp16.300 per dolar AS pada akhir tahun. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia terpantau lebih baik dibandingkan kebanyakan ekonomi dengan tingkat pendapatan serupa.
Ekonomi Indonesia diprediksi masih akan ditopang oleh permintaan untuk komoditas utama seperti batu bara, nikel, tembaga, dan gas alam, serta investasi di sektor hilir komoditas-komoditas tersebut, yang diharapkan mendukung aktivitas ekonomi yang lebih kuat dalam tiga hingga lima tahun ke depan.
Sementara S&P memandang otoritas fiskal terus memprioritaskan stabilitas ekonomi dan keuangan. Selama bertahun-tahun, pemerintah disebut telah melakukan upaya konstan untuk meningkatkan transparansi melalui interaksi rutin dan berbagi informasi dengan peserta pasar keuangan.
“Mereka fleksibel dalam melakukan penyesuaian kebijakan ketika keadaan mengharuskannya. Pemerintah sebelumnya juga cepat dalam mengendalikan defisit anggaran di bawah 3% dari PDB setelah tekanan ekonomi akibat pandemi mereda,” ungkap S&P.
Untuk itu pula, S&P mempertahankan peringkat kredit alias Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia pada level BBB—satu tingkat di atas level terendah investment grade—dengan outlook stabil, pada 29 Juli 2025.