Selain itu, Indonesia juga berencana untuk mengalihkan sebagian impor LPG dari Timur Tengah ke AS sebagai salah satu upaya negosiasi tarif Trump.
Dalam negosiasi itu, Indonesia berencana untuk membelanjakan US$34 miliar atau setara Rp551,1 triliun (asumsi kurs Rp16.209 per US$). Dari total jumlah tersebut, sebanyak US$15,5 miliar atau setara Rp251,24 triliun dialokasikan untuk belanja energi dari Negeri Paman Sam.
"Ya ini kita lagi petakan dulu. Ini kan impor LPG itu kan dari Timur Tengah sama AS. Jadi nanti mungkin akan ada switch impor dari Timur Tengah itu menjadi impor dari Amerika," kata Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (4/7/2025).
Kesiapan RI
Meski belum ada keputusan akhir dari pemerintah AS, tetapi Indonesia dipastikan telah memiliki merancang sejumlah strategi untuk menghadapi ancaman perang dagang akibat tarif Trump.
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan jalur diplomasi menjadi salah satu strategi Indonesia dalam menghadapi kebijakan tarif resiprokal AS yang diputuskan oleh Presiden Donald Trump.
“Jadi kita sebenarnya sudah mempersiapkan tim negosiasi kita, artinya ada di kedutaan. Jadi kadang-kadang Amerika ini kan cepat sekali berubah sehingga kita harus antisipasi kalau ada perubahan ya kita sudah siap,” kata Budi dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, dikutip pada Kamis (3/7/2025).
Baca Juga
Budi menuturkan, diplomasi ini diakukan bersamaan dengan proses deregulasi kebijakan impor dan kebijakan dalam mendorong ekspor. Kemudian, strategi kedua Indonesia dalam menghadapi tarif resiprokal adalah melalui perluasan pasar ekspor.
Budi menjelaskan Kemendag terus mendorong penyelesaian sejumlah perundingan kerja sama perdagangan seperti Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU—CEPA), Indonesia—Eurasian Economic Union (I-EAEU) CEPA, I-Peru CEPA, Indonesia—Tunisia Preferential Trade Agreement (Indonesia—Tunisia PTA) sebagai upaya melakukan diversifikasi sekaligus pengalihan pangsa ekspor Indonesia.
Kemendag juga mempercepat proses ratifikasi Indonesia-Canada CEPA dan Indonesia-Iran PTA sebagai upaya untuk mempercepat pemanfaatan preferensi oleh pelaku usaha nasional.
Kemudian yang ketiga, antisipasi limpahan barang impor. Dalam hal ini, pemerintah mengoptimalkan pemanfaatan mekanisme tindakan pengamanan perdagangan (trade remedies) WTO berupa bea masuk antidumping (BMAD) dan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP), serta memperketat mekanisme pengawasan lalu lintas ekspor impor barang di seluruh pintu masuk kepabeanan.
Selain itu, Kemendag juga akan meningkatkan pengawasan peredaran barang di pasar domestik (post border).
“Jangan sampai ketika barang itu tidak bisa diterima di Amerika, kemudian masuknya ke Indonesia,” ungkapnya.
Selanjutnya, strategi keempat adalah mengevaluasi perjanjian perdagangan. Budi menjelaskan, pemerintah melakukan evaluasi setiap perjanjian perdagangan yang sudah terimplementasi untuk mendapatkan output terbaik bagi perdagangan internasional.
“Kita tentu tidak hanya sekadar membuat perjanjian dagang yang baru, tetapi kita itu sudah ada 19 perjanjian dagang yang sudah implementasi, 10 [perjanjian dagang] yang sedang proses ratifikasi, dan 16 yang sedang dirundingkan,” ujarnya.
Budi menerangkan bahwa perjanjian dagang harus saling menguntungkan kedua belah pihak. Artinya, ujar dia, proses neraca perdagangan antara kedua negara harus seimbang, tetapi juga saling menguntungkan.