Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) ketar-ketir menantikan hasil kesepakatan dari kebijakan tarif Presiden Donald Trump yang bakal diterapkan Amerika Serikat (AS) atas produk Indonesia pada 9 Juli mendatang.
Direktur Eksekutif Aprisindo Yoseph Billie Dosiwoda mengatakan pihaknya mulai bertanya-tanya hasil negosiasi Pemerintah Indonesia dengan AS menjelang tenggat pemberlakuan kebijakan yang lebih dikenal dengan sebutanTarif Trump itu pada 9 Juli.
“Bagaimana tidak, industri alas kaki masih mengalami ketidakpastian menanti hasil tarif timbal balik Presiden Trump pada 9 Juli nanti,” kata Billie kepada Bisnis, Kamis (3/7/2025).
Adapun, saat ini untuk sementara ekspor alas kaki Indonesia ke AS dikenakan tarif 10%. Pelaku usaha berharap hasil negosiasi pemerintah RI ke AS akan membuahkan hasil tarif 0% atau lebih rendah dari rencana awal 32% yang diumumkan 2 April 2025 lalu.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor alas kaki (HS 64) ke Amerika Serikat mencapai US$1,08 miliar pada periode Januari-Mei 2025 atau memiliki porsi 8,94% dari total ekspor nonmigas ke AS senilai US$12,11 miliar.
Sementara itu, nilai ekspor alas kaki Indonesia ke AS lima bulan pertama ini meningkat 18,06% (year-on-year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni senilai US$914,7 juta.
Baca Juga
Ekspor alas kaki ke Amerika Serikat mengambil peran cukup besar. Adapun, tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat, 27 Negara di Eropa, Cina, Amerika Latin, Australia baru kemudian Timur Tengah.
Di sisi lain, tak hanya tantangan kebijakan tarif Trump yang menghantui, pihaknya juga masih menantikan pengesahan IEU-CEPA belum di tandatangan atau disahkan yang telah 9 tahun dan 19 putaran perundingan sebagai akses pasar baru ke Eropa.
“Aprisindo pada dasarnya mendukung apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam melindungi keberlangsungan Industri padat karya khususnya alas kaki,” tuturnya.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti konflik Timur Tengah dan potensi dampak eskalasi yang terjadi terhadap dunia usaha sektor alas kaki.
Meskipun dampak dari konflik Timur Tengah tersebut belum memberikan kekhawatiran besar di industri alas kaki, namun risiko terganggunya rantai pasok ekspor dan impor harus diantisipasi.
“Kita masih melihat situasi dengan wait and see kalau ditanya sampai hari ini masih berjalan normal tetapi tidak tahu kedepan bila konflik dan ekskalasi perang yang tidak diharapkan makin memanas,” jelasnya.
Untuk itu, pihaknya masih terus memantau perkembangan perang apabila makin memanas, maka bukan tak mungkin terjadi gangguan lain seperti transportasi global, penurunan permintaan ekspor dari Eropa, hingga peningkatan harga energi.