Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah tengah membahas rencana pengadaan server baru untuk sistem Centralized Equipment Identity Register (CEIR), seiring dengan kapasitas server saat ini yang sudah mendekati batas maksimal.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengundang sejumlah pemangku kepentingan untuk membahas rancangan Peraturan Presiden (Perpres) dan skema pengelolaan CEIR dalam sebuah pertemuan pada 23 Juni kemarin.
Melalui surat undangan resmi nomor B/413/ILMATE.5/IND/VI/2025, Kemenperin menyampaikan agenda pertemuan antara lain mencakup pembahasan penguatan regulasi pengendalian IMEI Nasional serta rencana penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pengelolaan sistem CEIR.
Menanggapi hal ini, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyatakan proses penyusunan regulasi tersebut masih berlangsung dan belum ada keputusan resmi terkait skema pembiayaan maupun pengadaan server baru.
“Belum ya, itu di Kemenperin sedang menyusun Peraturan Presiden [Perpres] kita baru tahu setelah draftnya jadi, saat ini belum. Pengadaannya sistem CEIR bagaimana? Kalau dari ATSI lebih baik ada evaluasi, ada assessment dulu,” kata Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir saat dihubungi Bisnis pada Kamis (26/6/2025).
Pengamat Telekomunikasi dan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menilai membebankan biaya kepada penyedia perangkat sebenarnya merupakan skema yang cukup adil, mengingat mereka merupakan pihak yang langsung mendapatkan keuntungan dari pasar yang lebih teratur.
Baca Juga
Namun, dia mengingatkan bahwa tarif yang terlalu tinggi justru bisa menjadi beban tambahan bagi industri dan konsumen.
Menurutnya, efektivitas skema ini sangat bergantung pada transparansi penggunaan dana serta kemampuan pemerintah menjaga agar biaya tetap berada dalam batas yang wajar.
“Kalau dikelola baik, ini bisa mendukung CEIR tanpa mengganggu ekosistem. Kalau tidak, malah bisa bikin harga naik dan pasar terganggu,” kata Heru kepada Bisnis pada Kamis (26/6/2025).
Dia juga menyoroti potensi dampak lanjutan jika biaya pendaftaran IMEI dibebankan ke produsen perangkat. Menurutnya ada kemungkinan besar harga perangkat naik karena mereka akan meneruskan biaya ke konsumen.
Hal tersebut dapat mengurangi daya beli, terutama di segmen menengah ke bawah. Selain itu, kompetisi antar merek juga bisa terpengaruh, karena merek kecil dengan margin tipis akan kesulitan bersaing dengan merek besar.
“Dampaknya mungkin terasa di pasar entry-level, dimana konsumen sangat sensitif terhadap harga. Pemerintah perlu atur tarif supaya enggak terlalu memukul pasar,” katanya.
Tak hanya itu, Heru mengingatkan skema baru ini berisiko menambah beban operasional bagi pelaku usaha kecil, dan dapat berujung pada pasar yang kurang kompetitif.
Sebagai solusi, Heru menyarankan agar pendanaan CEIR menggunakan pendekatan hybrid, yakni sebagian ditanggung oleh APBN untuk infrastruktur dasar, sementara sisanya berasal dari kontribusi operator seluler dan produsen berdasarkan volume perangkat.
Menurutnya, skema ini lebih adil karena beban dibagi sesuai dengan kapasitas masing-masing pihak.
Dia juga menekankan pentingnya transparansi tarif pendaftaran IMEI dan perlunya efisiensi teknis melalui kolaborasi dengan operator.
Alternatif lainnya, Heru menyarankan agar pengelolaan CEIR dikembalikan ke operator telekomunikasi, dengan sistem yang dapat diakses oleh Kemenperin maupun Bea Cukai layaknya layanan cloud.
“Toh kalau soal kebobolan, justru ketika perangkat dikelola seperti sekarang banyak kebobolan IMEI yang kemudian merugikan negara juga,” pungkas Heru.