Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Laporan Bank Dunia: RI Kehilangan Potensi Pajak Rp944 Triliun pada 2016-2021

Hasil studi terbaru dari Bank Dunia menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak hingga Rp944 triliun selama 2016—2021.
Ilustrasi pajak. / dok. Freepik - 8photo
Ilustrasi pajak. / dok. Freepik - 8photo

Bisnis.com, JAKARTA – Hasil studi terbaru dari Bank Dunia menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak hingga Rp944 triliun selama 2016—2021.

Hasil studi tersebut tercantum dalam laporan Bank Dunia bertajuk Estimating Value Added Tax (VAT) and Corpotate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang terbit pada 3 Maret 2025.

Laporan tersebut menganalisis kepatuhan setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan korporasi (PPh Badan) di Indonesia selama 2016—2021. Hasilnya, besarnya kesenjangan pajak (tax gap) menyebabkan efisiensi setoran dua sumber utama penerimaan pajak tersebut sangat rendah.

“Estimasi kesenjangan PPN dan PPh Badan yang tercatat rata-rata mencapai 6,4% dari PDB atau Rp944 triliun pada periode 2016—2021,” tulis Bank Dunia, dikutip Rabu (26/3/2025).

Bank Dunia pun menyatakan kinerja pengumpulan pajak pemerintah Indonesia sangat buruk. Mereka mencontohkan, pada 2021 rasio pajak Indonesia hanya sebesar 9,1%.

Rasio pajak Indonesia itu lebih rendah dari negara-negara di kawasan seperti Kamboja (18%), Malaysia (11,9%), Filipina (15,2%), Thailand (15,7%), dan Vietnam (14,7%). Bahkan, Bank Dunia menyatakan rasio pajak Indonesia sebagai salah satu yang terendah di dunia.

Lembaga keuangan internasional itu menyatakan PPN dan PPh Badan yang merupakan sumber utama penerimaan pajak Indonesia tidak bekerja secara maksimal.

Hasil perhitungan Bank Dunia menunjukkan, rata-rata kesenjangan antara PPN yang seharusnya dibayar dengan PPN yang sebenarnya dibayar mencapai 43,9% atau setara 2,6% dari PDB selama 2016—2021. Dalam nominal, selisih tersebut setara Rp386 triliun.

Sementara itu untuk PPh Badan, rata-rata kesenjangan yang seharusnya dibayar dengan yang sebenarnya dibayar mencapai 33% atau setara 1,1% dari PDB selama 2016—2021. Dalam nominal, selisih tersebut setara Rp160 triliun.

“Itu dapat disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, termasuk kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit,” tulis Bank Dunia.

Lembaga yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat itu pun memberikan sejumlah saran untuk memaksimalkan penerimaan dari PPN dan PPh Badan di Indonesia.

Bank Dunia mengindikasikan bahwa salah satu penyebab belum maksimalnya penerimaan PPN dan PPh Badan di Indonesia karena tingginya ambang batas pengenaan pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Memang, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar yang wajib memungut PPN dan menyetor PPh Badan.

Bank Dunia melihat, tingginya ambang batas tersebut menyebabkan banyak korporasi yang tak dikenai pajak. Selain itu, UMKM menjadi kurang diawasi dan meningkatkan ketidakpatuhan pelaporan pajak formal.

“Menurunkan ambang batas serta memperkenalkan larangan hukum pengelompokan dapat mengurangi selisih [penerimaan yang seharusnya dengan yang sebenarnya] PPN dan PPh,” tulis Bank Dunia.

Selain itu, Bank Dunia melihat pangsa aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy) di Indonesia sangat besar yang nilainya mencapai 17,6% hingga 21,8% dari total PDB. Masalahnya, aktivitas ekonomi bawah tanah tidak terdeteksi secara administrasi perpajakan.

Oleh sebab itu, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah harus memperluas akses informasi tentang seluruh kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan data pihak ketiga untuk meningkatkan penegakan kepatuhan pajak.

“Wajib pajak yang masih berada di luar sistem—UMKM dan sektor yang tidak dikenakan pajak—harus dimasukkan ke dalam pelaporan PPN dan PPh untuk mengintegrasikan mereka sepenuhnya ke dalam sistem di masa mendatang,” tutup Bank Dunia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper