Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menilai kebijakan Bupati Pati Sudewo menaikkan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) hingga 250% tak lepas dari imbas efisiensi transfer ke daerah (TKD) yang dilakukan pemerintah pusat.
Rifqi menjelaskan bahwa mayoritas pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki kemandirian fiskal dan bergantung besar pada aliran dana dari APBN.
“Ketika APBN dilakukan efisiensi dan recofusing untuk program-program strategis pemerintah maka daerah gelagapan, karena itu beberapa kepala daerah berinisiatif meningkatkan pajak-pajak daerah untuk kemudian meningkatkan pendapatan asli daerahnya,” ujar Rifqi kepada wartawan, Kamis (14/8/2025).
Hanya saja, legislator dari Fraksi Partai Nasdem itu mengingatkan bahwa kebijakan menaikkan PBB di tengah situasi ekonomi yang dinamis dan belum membaik akan menuai resistensi publik. Oleh sebab itu, dia menekankan pentingnya komunikasi politik yang akuntabel dan transparan.
Menurutnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sedapat mungkin dibuka agar masyarakat paham pendapatan daerahnya berapa hingga kebutuhannya apa saja.
"Jika ada kekurangan dana, sampaikan secara terbuka,” katanya.
Baca Juga
Dia menilai kasus Pati menjadi pelajaran bahwa kepala daerah harus sensitif terhadap publik dan menjaga hubungan dekat dengan masyarakat. Aksi demonstrasi penolakan kenaikan tarif PBB di Pati, sambungnya, merupakan luapan ketidakpuasan karena aspirasi warga tidak tersalurkan lewat kanal formal.
Sebagai informasi, Pati menjadi salah satu daerah yang bergantung banyak dari dana TKD. Pada 2024, pendapatan asli daerah (PAD) Pati sebesar Rp415,28 miliar atau hanya setara 14,56% dari total pendapatan daerah yang mencapai Rp2,85 triliun.
Artinya setidaknya 4/5 pendapatan daerah Pati berasal dari TKD. Sebagai perbandingan, dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, Pati merupakan daerah dengan persentase PAD terhadap total pendapatan daerah terendah ketiga—hanya unggul dari Wonogiri (11,75%) dan Klaten (13,49%).
Nasib Daerah Berpendapatan Rendah
Pemerintah pusat memang siap memangkas dana TKD sebagai strategi realokasi anggaran untuk biaya program unggulan Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah daerah pun tidak tinggal diam. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menetapkan tata cara efisiensi dana TKD melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 56/2025.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1), efisiensi TKD diberlakukan terhadap alokasi yang digunakan untuk infrastruktur, dana otonomi khusus (otsus) dan keistimewaan daerah, dana yang belum dirinci per daerah dalam APBN tahun berjalan, hingga alokasi yang tidak digunakan untuk pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Kebijakan juga mencakup TKD lain sesuai arahan presiden.
Sementara dalam Pasal 17 ayat (4) dan (5) diatur bahwa dana TKD hasil efisiensi akan dicadangkan dan tidak disalurkan, kecuali terdapat arahan lain dari presiden.
Dijelaskan bahwa hasil efisiensi TKD dapat berbentuk alokasi per daerah maupun alokasi yang belum dirinci. Dana hasil efisiensi yang dicadangkan akan menjadi dasar penyesuaian rincian alokasi TKD per provinsi/kabupaten/kota atau per bidang, yang kemudian diadopsi dalam APBD masing-masing daerah.
Tanggapi ancaman itu, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) akan menggelar pembahasan internal terkait rencana efisiensi dana TKD oleh pemerintah pusat. Apkasi akan menentukan sikap atas kebijakan pemerintah pusat itu.
Wakil Ketua Umum Apkasi Masinton Pasaribu menjelaskan, masih banyak kabupaten/kota dengan pendapatan asli daerah (PAD) di bawah Rp100 miliar per tahun Dengan ruang fiskal yang terbatas, Masinton khawatir efisiensi TKD berpotensi menghambat pembangunan daerah.
Bupati Tapanuli Tengah itu mengusulkan pemerintah pusat menyusun klaster daerah berdasarkan kemampuan keuangan untuk menghindari efek pemangkasan anggaran yang tidak proporsional.
Dia mencontohkan pembagian tiga klaster yaitu daerah dengan PAD di bawah Rp100 miliar, PAD Rp100 miliar sampai Rp250 miliar, dan PAD di atas Rp250 miliar.
Dalam APBD 2024 dari 510 kabupaten/kota yang dihimpun Bisnis, ada 166 kabupaten/kota dengan PAD di bawah Rp100 miliar; 158 kabupaten/kota dengan PAD di kisaran Rp100—250 miliar; dan 186 kabupaten/kota dengan PAD di atas Rp250 miliar.
Bahkan ada 232 kabupaten/kota yang persentase PAD terhadap total pendapatan daerahnya di bawah 10%, yang menunjukkan hampir separuh kabupaten/kota masih sangat tergantung kepada TKD sebagai sumber utama pendapatan daerah.
Misalnya Kabupaten Mamberamo Tengah, Papua Pegunungan yang hanya memiliki PAD sebesar Rp1,39 miliar dalam APBD 2024 atau hanya setara 0,15% dari total pendapatan daerah Mamberamo Tengah sebesar Rp938,26 miliar. Artinya, hampir 99% pendapatan daerah Mamberamo Tengah berasal dari dana TKD pemerintah pusat.
Sebaliknya, hanya ada 7 kabupaten/kota yang persentase PAD terhadap total pendapatan daerahnya di atas 50%. Semuanya ada di Jawa-Bali yaitu Jakarta, DKI Jakarta; Kota Semarang, Jawa Tengah; Surabaya, Jawa Timur; Badung, Bali; Gianyar, Bali; Kabupaten Tangerang, Banten; dan Cilegon, Banten.
Ratusan kabupaten/kota yang masih bergantung kepada dana TKD memang terkonsentrasi di luar Pulau Jawa, yang menandakan adanya potensi ketimpangan yang semakin besar antara daerah maju dan tertinggal apabila efisiensi TKD tidak dilaksanakan secara hati-hati.
10 provinsi dengan jumlah kabupaten/kota PAD di bawah Rp100 miliar terbanyak yaitu Sumatera Utara (14), Nusa Tenggara Timur (14), Sulawesi Utara (11), Sulawesi Tenggara (11), Bengkulu (9), Maluku (8), Papua Pegunungan (8), Papua (7), Aceh (7), dan Lampung (6).
Bantahan Istana
Istana Kepresidenan tidak setuju gejolak kenaikan PBB di Kabupaten Pati, Jawa Tengah terkait langsung dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat.
Kepala Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) Hasan Nasbi menekankan bahwa kebijakan penaikan PBB-P2 tersebut merupakan kewenangan penuh pemerintah daerah. Hasan membantah pandangan yang mengaitkan kenaikan PBB di Pati dengan kebijakan efisiensi yang dilakukan pemerintah pusat pada awal 2025.
“Efisiensi awal 2025 itu tidak hanya untuk satu kabupaten kota, tidak hanya untuk dua kabupaten kota, tapi untuk lima ratusan kabupaten kota. Untuk seluruh kementerian dan lembaga yang ada di pemerintah pusat. Jadi kalau ada kejadian spesifik, satu kejadian, seperti yang terjadi di Pati, ini adalah murni dinamika lokal,” kata Hasan saat memberikan keterangan pers di Ruang Visualisasi lantai 15, Kantor PCO, Gedung Kwarnas, Gambir, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Menurutnya, kalau ada kebijakan kenaikan PBB, itu adalah hasil kesepakatan bupati dan DPRD sebagai pejabat publik yang dipilih rakyat sehingga tidak tepat jika langsung dikaitkan dengan kebijakan efisiensi pemerintah pusat.