Bisnis.com, JAKARTA — Eskalasi perang dagang diyakini akan mempersempit ruang penurunan suku bunga Bank Indonesia. Pada saat yang sama, Bank Indonesia berkomitmen membantu pertumbuhan ekonomi sehingga perlu menurunkan BI Rate.
Dilema tersebut tidak bisa terhindar usai Amerika Serikat (AS) resmi menaikkan tarif impor ke produk asal China, Meksiko, dan Kanada mulai 4 Maret 2025. AS menggandakan tarif dari 10% menjadi 20% untuk barang elektronik asal China; AS juga menerapkan tarif 25% ke semua barang asal Meksiko dan Kanada.
China, Meksiko, dan Kanada pun tidak tinggal diam. China mengumumkan akan mengenakan tarif tambahan sebesar 15% untuk produk pertanian AS, serta pungutan tambahan sebesar 10% untuk produk pangan lainnya mulai 10 Maret 2025.
Sejalan, Kanada membalas dengan tarif 25% atas impor barang dari AS senilai US$30 miliar, yang nantinya akan diperluas menjadi US$155 miliar. Sementara Meksiko akan mengumumkan rincian balasan tarif impor untuk barang asal AS paling lambat pada 9 Maret 2025.
Masalahnya, perang dagang tersebut akan membuat harga barang impor meningkat tajam. Akibatnya, harga barang impor terutama di AS akan naik sehingga angka inflasi turut meningkat.
Sejalan dengan itu, ruang penurunan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve alias The Fed akan semakin sempit.
Baca Juga
Hipotesisnya, jika suku bunga tinggi maka masyarakat akan lebih memilih menabung uang daripada membelanjakannya sehingga bisa menurunkan harga barang/jasa alias menurunkan inflasi.
Sebaliknya, jika suku bunga diturunkan maka masyarakat akan kurang tertarik menabung uang dan membelanjakannya sehingga memicu harga barang/jasa naik alias meningkatkan inflasi.
Suka tidak suka, kebijakan The Fed akan mempengaruhi kebijakan moneter di Tanah Air: ruang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia pun akan menyempit.
Jika Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan sementara The Fed tidak maka maka selisih suku bunga Indonesia dan AS semakin sempit. Saat ini, suku bunga BI (BI Rate) berada di level 5,75% sementara suku bunga The Fed (Fed Funds Rate/FFR) berada di level 4,5%.
Jika selisih BI Rate dengan FFR semakin sempit maka investor akan menjual obligasi Indonesia untuk membeli obligasi AS.
Bagaimanapun, investor global menganggap dolar AS sebagai aset yang lebih aman (safe haven) sehingga investor akan memilih menjual aset di pasar keuangan negara berkembang seperti Indonesia apabila selisih imbal hasilnya tak signifikan.
Pada akhirnya, kurs rupiah akan tertekan penguatan dolar AS.
Demi Pertumbuhan Ekonomi
Kendati demikian, Kepala Ekonom PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) Banjaran Surya Indrastomo meyakini BI akan lebih memilih utamakan pertumbuhan ekonomi.
Dia meyakini BI akan lebih mempertimbangkan perlunya pertumbuhan kredit yang lebih kuat untuk melawan deflasi yang terjadi belakangan dan memanfaatkan momentum Lebaran.
"Kami prakirakan ada penurunan [BI Rate] bulan ini 25 bps dan di Kuartal III atau Kuartal IV," ungkap Banjaran kepada Bisnis, Kamis (6/3/2025).
Apalagi, sambungnya, dalam perkembangan posisi proyeksi para pejabat The Fed terakhir akan ada dua kali penurunan FFR masing-masing 25 basis poin (bps) pada Juni dan September. Oleh sebab itu, dia meyakini BI pun masih punya ruang penurunan BI Rate.
Di samping itu, Banjaran tidak menampik suku bunga tinggi AS akan membuat investor global lebih tertarik membeli obligasi Negari Paman Sam seperti US Treasury daripada obligasi Indonesia seperti surat berharga negara (SBN) dan sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Akibatnya, terdapat potensi arus modal keluar asing dari pasar keuangan Indonesia untuk beberapa pekan ke depan. Kendati demikian, dia meyakini kurs rupiah masih bisa stabil berkat aturan penahan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) 100% selama 12 bulan.
"Dengan inisiatif seperti DHE, Insya Allah menguatkan posisi rupiah," ujar Banjaran.
Prioritaskan Rupiah
Pendapat berbeda disampaikan oleh Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede. Menurut Josua, BI tidak akan mengambil risiko menurunkan BI Rate di tengah perang dagang yang semakin memanas.
Dia menggarisbawahi jika selisih suku bunga antara Indonesia dan AS semakin kecil maka akan terjadi arus modal keluar dari Indonesia ke AS. Akibatnya terjadi penurunan aliran investasi portofolio, depresiasi rupiah, dan peningkatan tekanan pada defisit transaksi berjalan.
Selain itu, jika investor asing keluar dari pasar obligasi pemerintah Indonesia maka imbal hasil SBN berpotensi naik yang dapat meningkatkan beban bunga utang pemerintah dan mengetatkan likuiditas perbankan
"Sehingga berisiko memperlambat pertumbuhan kredit dan investasi domestik," jelas Josua kepada Bisnis, Kamis (6/3/2025).
Oleh sebab itu, dia mendorong BI melakukan intervensi strategis. Misalnya untuk menjaga stabilitas rupiah, Josua menyatakan BI melakukan intervensi di pasar valas melalui penjualan cadangan devisa dan memanfaatkan instrumen seperti SRBI guna menarik modal asing ke aset berdenominasi rupiah.
Selain itu, sambungnya, BI dan pemerintah dapat berkoordinasi untuk menjaga daya tarik SBN. Dia mencontohkan, otoritas fiskal bisa memberikan insentif pajak atau menjaga stabilitas imbal hasil obligasi.
"Penguatan cadangan devisa juga menjadi prioritas, dengan mendorong ekspor, menarik lebih banyak investasi langsung asing, serta memperluas penggunaan rupiah dalam perdagangan internasional melalui skema local currency settlement dengan mitra dagang utama," ungkap Josua.
Di tengah ketidakpastian eksternal, Josua juga melihat kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) menjadi salah satu instrumen penting dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Menurutnya, peraturan terbaru yang mewajibkan eksportir sumber daya alam (SDA) untuk menyimpan 100% DHE di Indonesia selama 12 bulan bisa menahan aliran keluar devisa dan memperkuat cadangan internasional.
Sementara itu untuk kebijakan moneter, BI didorong untuk tetap menjaga suku bunga pada level yang kompetitif agar tetap menarik bagi investor tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi domestik.
"Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat lebih siap menghadapi dampak ketidakpastian global akibat perang dagang dan kebijakan suku bunga tinggi AS, sekaligus menjaga stabilitas nilai tukar, investasi, dan pertumbuhan ekonomi," tutup Josua.
Selanjutnya: Asesmen Bank Indonesia