Bisnis.com, JAKARTA - Perang tarif yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendorong percepatan ekspansi perdagangan dan investasi China ke negara-negara berkembang yang dikenal sebagai Global South.
Hal tersebut berpotensi melahirkan tatanan baru perdagangan global yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan China
Menurut riset S&P Global pada Selasa (19/8/2025), ekspor barang China ke negara-negara global south, yang berada di Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Timur Tengah, dalam satu dekade terakhir telah melonjak dua kali lipat.
Catatan tersebut melampaui pertumbuhan ekspor ke Amerika Serikat yang hanya naik 28% dan ke Eropa Barat sebesar 58%.
Laporan tersebut menjelaskan, ketidakpastian tinggi akibat tarif impor AS serta perlambatan ekonomi domestik akan terus mendorong perusahaan China memperluas pasar ke negara-negara global south.
"Kondisi tersebut berpotensi melahirkan tatanan baru perdagangan global, di mana arus dagang selatan-selatan menjadi pusat gravitasi utama, sementara perusahaan multinasional asal China tampil sebagai pemain kunci dalam lanskap ekonomi dunia," jelas laporan tersebut.
Baca Juga
S&P Global melanjutkan, tren lonjakan ekspor tersebut bahkan semakin meningkat dalam lima tahun terakhir sejak masa jabatan pertama Presiden AS Donald Trump, dengan kenaikan sebesar 65% ke negara-negara global south. Catatan tersebut tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada periode lima tahun sebelumnya yang hanya 21%.
Laporan tersebut melanjutkan, nilai ekspor China ke global south telah mencapai US$1,6 triliun, atau lebih dari 50% lebih besar dibandingkan ekspor gabungan ke Amerika Serikat dan Eropa Barat yang hanya sebesar US$1 triliun.
Selain itu, ekspor China ke tiga kawasan global south juga telah melampaui total ekspor ke AS dan Eropa Barat. Tercatat, nilai ekspor ke Asia Selatan dan Asia Tenggara mencapai, US$759 miliar, Amerika Latin sebesar US$264 miliar, sementara Timur Tengah sebesar US$219 miliar.
Lebih lanjut, perdagangan China dengan 20 mitra dagang terbesarnya di kawasan global south kini rata-rata setara dengan 20% dari produk domestik bruto (PDB) negara-negara tersebut.
Kemudian, lebih dari separuh surplus perdagangan China berasal dari negara-negara global south, jauh lebih besar dibandingkan kontribusi dari Amerika Serikat sebesar 36% dan Eropa Barat sebesar 23%.
S&P memprediksi arus perdagangan dan investasi China ke negara-negara global south akan terus bertumbuh ke depannya. Hal ini salah satunya didukung oleh upaya Pemerintah China untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara di kawasan tersebut.
Laporan tersebut menjelaskan, pemerintah Negeri Panda dalam beberapa bulan terakhir semakin gencar memperkuat hubungan dengan negara-negara global south. Hal ini dilakukan melalui pengurangan hambatan dagang dan penandatanganan perjanjian perdagangan baru.
Di sisi lain, S&P juga mengingatkan ekspansi tersebut juga memiliki risiko tersendiri. Perusahaan China yang memasuki pasar global selatan menghadapi lingkungan operasional yang berbeda dan mitra usaha yang belum familiar.
Kondisi tersebut meningkatkan risiko eksekusi, mulai dari strategi penjualan yang tidak efektif hingga renegosiasi maupun wanprestasi kontrak. Selain itu, infrastruktur hukum dan fisik yang relatif kurang berkembang di banyak yurisdiksi semakin memperbesar risiko tersebut.
Kemudian, banyak pelaku usaha dan pembuat kebijakan di pasar global south mengkhawatirkan risiko perusahaan China menjual barang dengan harga sangat rendah untuk menyingkirkan pesaing lokal atau mengatasi kelebihan kapasitas produksi mereka sendiri.
"Kekhawatiran ini terutama meningkat pada sektor-sektor yang menunjukkan tanda-tanda kelebihan investasi di China, seperti otomotif, kimia, dan peralatan listrik," jelasnya.