Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Ungkap Cara Sri Mulyani Akali Ambang Batas Defisit APBN 3%

Utang BUMN yang tidak tercatat sebagai utang pemerintah dinilai sebagai salah satu faktor penyebab defisit APBN tidak akan menyentuh batas 3%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (16/8/2024). / Bloomberg-Rosa Panggabean
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (16/8/2024). / Bloomberg-Rosa Panggabean

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin meyakini batas defisit APBN 3% tidak akan terlewati pada tahun ini, meski kebutuhan anggaran belanja pemerintah semakin banyak.

Wijayanto melihat pemerintah akan mengakali ambang batas defisit tersebut dengan menyuruh BUMN untuk berutang. Nantinya, dana dari utang BUMN yang akan digunakan untuk biayai program-program pemerintahan.

"Karena kalau yang berutang BUMN, itu tidak masuk dalam utang pemerintah. Walaupun kemudian pemerintah setor ke BUMN dalam bentuk penyertaan modal," jelas Wijayanto dalam diskusi Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintah Prabowo Bidang Ekonomi secara daring, Rabu (22/1/2025).

Staf khusus wakil presiden untuk ekonomi dan keuangan periode 2014—2019 itu menjelaskan, dalam APBN, pembiayaan utang BUMN dari pemerintah selama ini tercatat sebagai penyertaan modal negara (PMN).

Artinya, dalam APBN, nilai utang pemerintah tidak bertambah karena PMN tercatat sebagai investasi. Oleh sebab itu, ambang batas defisit APBN 3% bisa diakali lewat skema pembiayaan utang BUMN.

"Jadi kenapa sih kita disiplin dengan threshold 3%, padahal utangnya melejit? Ya itu, banyak utang-utang yang tidak masuk dalam threshold 3% itu," ujar Wijayanto.

Sejalan dengan itu, dia mengkritisi pemerintahan Prabowo Subianto yang kerap mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang populis meski fiskal negara sangat sempit. Wijayanto pun mengingatkan pemerintahan Prabowo tidak memiliki banyak ruang lagi untuk menarik utang lebih banyak.

Wijayanto memproyeksikan debt service ratio (DSR) akan mencapai 45% pada 2025, yaitu cicilan pokok dan biaya bunga utang mencapai Rp1.253 triliun dengan penerimaan negara mencapai Rp3.005 triliun. Angka DSR tersebut, sambungnya, jauh di atas batas aman yaitu 30%.

DSR sendiri merupakan indikator kemampuan suatu negara membayar kewajiban utangnya, baik bunga maupun pokok, dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dalam periode tertentu.

"Ini angka dari mana [batas aman] 30% ini? Ini angka teman-teman di BI [Bank Indonesia]. Kita sering diskusi internal dan ini threshold [ambang batas] yang mereka selalu pakai selama ini," ujar Wijayanto.

Dia menegaskan jika DSR sudah sangat tinggi maka menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa penerbitan utang tidak bisa ugal-ugalan lagi. Tak hanya itu, sambungnya, investor juga akan ragu membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah apabila DSR terlalu tinggi. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper