Bisnis.com, JAKARTA – Pajak ‘orang kaya’ atau pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) memberi sumbangan terkecil untuk pendapatan negara dibandingkan penerimaan jenis-jenis pajak utama lainnya.
Dalam buku APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) September 2024, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan pajak sebesar Rp1.196,54 triliun sepanjang Januari—Agustus 2024 atau setara 60,16% dari target APBN.
Berdasarkan jenisnya, perinciannya yaitu PPN DN mengontribusikan Rp275,69 triliun (23,04%); PPh Badan sebesar Rp212,7 triliun (17.78%); PPN Impor sebesar Rp176,33 triliun (14,74%); PPh 21 sebesar Rp176,14 triliun (14,72%); PPh Final sebesar Rp87,99 triliun (7,35%).
Lalu PPh 26 sebesar Rp61,46 triliun (5,14%); PPh 22 Impor sebesar Rp50,99 triliun (4,26%); dan yang terendah adalah PPh OP sebesar Rp11,44 triliun (0,96%).
Padahal, PPh OP dikenal sebagai ‘pajak orang kaya’ karena bersifat progresif seperti yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Dalam pasal tersebut diatur tarif pajak diterapkan secara berbeda-beda berdasarkan penghasilan orang pribadi per tahunnya. Berikut perinciannya:
Baca Juga
- 1. Penghasilan sampai dengan Rp60 juta per tahun kena tarif pajak 5%
- 2. Penghasilan Rp60 juta sampai Rp 250 juta per tahun kena tarif pajak 15%
- 3. Penghasilan Rp250 juta sampai Rp500 juta per tahun kena tarif pajak 25%
- 4. Penghasilan Rp500 juta sampai Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 30%
- 5. Penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 35%
Pajak Kekayaan
Di sisi lain, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan harta 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan harta 50 juta warga lainnya.
Dalam studi terbarunya berjudul Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin, Celios mengumpulkan data dari 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Hasilnya, ditemukan ketimpangan yang sangat besar antara ‘si kaya’ dengan ‘si miskin’.
Oleh sebab itu, Celios mengusulkan penerapan pajak kekayaan di Indonesia agar ketimpangan tidak semakin parah.
Studi Celios menunjukkan, penerapan pajak kekayaan sangat membantu pembiayaan program pembangunan. Misalnya, potensi pajak kekayaan 50 orang terkaya saja mencapai Rp81,6 triliun per tahunnya.
Dana tersebut diyakini bisa membiayai program-program pengentasan kemiskinan seperti memberi makan siang gratis kepada 15 juta masyarakat sepanjang tahun—dengan asumsi satu paket makan Rp15.000.
Lalu, pajak kekayaan 50 orang paling tajir itu bisa membangun 339 ribu rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah; membiayai lebih dari 558 juta paket bantuan beras untuk keluarga miskin—dengan asumsi 10 liter beras per paket.
Selanjutnya, pajak kekayaan 50 triliuner teratas juga bisa membangun lebih dari 4 juta rumah susun bagi masyarakat miskin; bisa mendistribusikan 1,5 hektar tanah kepada 8,7 juta usaha pertanian kecil.
Kemudian, pajak kekayaan hanya 2% atas kekayaan 50 orang terkaya bisa membiayai kuliah 18,5 juta mahasiswa per tahunnya; bangun 877 pusat pelayanan kesehatan jiwa dan psikologis; dan masih banyak lagi.
Director of Fiscal Justice Celios Media Wahyudi Askar pun tidak menampik bahwa perekonomian Indonesia telah tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir. Kendati demikian, sejalan dengan itu ketimpangan ekonomi juga semakin dalam.
"Pengukuran yang terlalu berfokus pada angka-angka makroekonomi sering kali melupakan makna hakiki dari pembangunan, yaitu memastikan bahwa manfaat dari pertumbuhan ekonomi benar-benar menyentuh seluruh lapisan masyarakat," jelas Media dalam laporan Celios, dikutip pada Kamis (26/9/2024).
Sementara itu, menurut laporan Dana Moneter Internasional (Internatonal Monetary Fund/IMF) berjudul How to Tax Wealth (2024), setidaknya tiga pendekatan lazim dalam penerapan pajak kekayaan yaitu berdasarkan nilai harta (pajak progresif), transfer kekayaan melalui warisan, dan tarif aset-aset seperti saham.