Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penurunan Daya Beli Masyarakat, Alarm Nyaring dari Anjloknya Tabungan Rakyat Hingga Deflasi

Tanda-tanda penurunan daya beli masyarakat menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berdengung semakin keras.
Pedagang memilah cabai merah dan cabai rawit di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Senin (5/2/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pedagang memilah cabai merah dan cabai rawit di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Senin (5/2/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah pihak mulai menyoroti tanda-tanda penurunan daya beli masyarakat menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kondisi ini diperkirakan akan menjadi tantangan fiskal bagi pemerintahan presiden terpilih 2024—2029, Prabowo Subianto.

Tanda itu seperti penurunan harga barang (deflasi) dalam tiga bulan terakhir secara beruntun. Deflasi dapat terjadi karena kelebihan pasokan, namun dapat juga disebabkan rendahnya daya beli sehingga produsen memangkas harga jual. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren deflasi selama tiga bulan berturut-turut, dengan deflasi pada Mei sebesar 0,03%, Juni 0,08%, dan Juli 0,18%. 

Sinyal lebih terang muncul dari konsumsi rumah tangga yang tercatat melambat pada kuartal II/2024 dengan pertumbuhan 4,93%, lebih rendah dibandingkan 5,22% pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud menyebutkan perlambatan ini terjadi akibat konsumsi di beberapa subkelompok mengalami pelemahan. Indikatornya, Indeks Perdagangan Eceran Riil melambat dan penjualan wholesales sepeda motor yang turut melambat. 

"Sebagian komoditas seperti pakaian dan transportasi mengalami pertumbuhan yang tidak setinggi pertumbuhan tahun lalu," ujar Edy dalam konferensi pers, beberapa waktu lalu (5/8/2024). 

Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati menyoroti fenomena lesunya daya beli masyarakat ini. Selain deflasi tiga bulan dan tingkat konsumsi terkait, Anis juga mencatat terjadi penurunan simpanan masyarakat kecil yang ditunjukkan dengan nilai Rp100 juta secara tahunan di bank. Tercatat kemampuan menabung ini turun dari 7,8% menjadi 4,1%.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengingatkan, lesunya daya beli masyarakat dapat memengaruhi pendapatan negara akibat dari penurunan PPN (pajak penambahan nilai) dan turunnya setoran pajak industri perdagangan.

Oleh sebab itu, dia khawatir dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan melambat yang kemudian sebabkan peningkatan kemiskinan. Apalagi, sambung Anis, tingkat pengangguran terbuka Indonesia masih menjadi salah satu tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

"Pemerintah harus aware [waspada] situasi ini, jangan lengah dan menyangkal penurunan daya beli. Angka PHK saja meningkat, dan menurut data BPS jumlah pengangguran masih tercatat 7,2 juta jiwa. Sementara angka PHK juga mengalami lonjakan di periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang menurut data Kemnaker, angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu. Artinya kondisi perekonomian melemah,” ungkapnya, dikutip Rabu (14/8/2024).

Legislator dari daerah pemilihan Jakarta Timur II ingin pemerintah bergerak cepat untuk kembali menaikkan daya beli masyarakat lewat instrumen fiskal. Terutama, sambungnya, masyarakat kelas menengah karena kerap tak mendapat perlindungan sosial.

Selain itu, Anis berpendapat pemerintah harus turut menggenjot investasi yang berkualitas terutama di sektor padat karya.

Dia khawatir jika penurunan daya beli masyarakat tidak ditangani sebelum masa pemerintahan Jokowi berakhir maka akan membebani pemerintah baru Prabowo nantinya.

“Jika pemerintahan tidak berakhir husnul khotimah, tentunya akan mewariskan beban fiskal yang kian berat, anjloknya daya beli memengaruhi rasio pajak atas PDB dan menyulitkan pemerintahan baru,” tutup Anis.

Kalangan pengusaha juga sudah mewanti-wanti pelemahan daya beli masyarakat. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) misalnya, yang meminta pemerintah mengkaji ulang pemberlakuan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%.

Kenaikan PPN 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 itu sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 7/2021. Kendati demikian, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani meyakini pemerintah tetap bisa menunda pelaksanaannya seperti ketika tunda pemungutan pajak karbon yang seharusnya efektif per 1 April 2022.

Alasannya, tak lain dan tak bukan karena daya beli masyarakat sedang mengalami tren penurunan. Ajib mengingatkan jutaan penduduk kelas menengah telah turun kasta menurut temuan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI.

Tidak hanya itu, data makro ekonomi menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih ditopang kurang lebih sebanyak 60% oleh konsumsi rumah tangga. Oleh sebab itu, Ajib khawatir kenaikan tarif PPN malah akan membenahi pemerintahan presiden selanjutnya, Prabowo Subianto.

"Kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif, maka target pemerintah Prabowo-Gibran yang membuat target pertumbuhan ekonomi cukup agresif akan menghadapi kendala," katanya, Senin (12/8/2024).

Daripada menaikkan PPN jadi 12%, Ajib menyarankan pemerintah menempuh jalan lain yang tujuannya untuk naikkan daya beli masyarakat sekaligus menambah penerimaan negara. Menurutnya, ada dua kebijakan yang bisa ditempuh.

Pertama, pemerintah bisa menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tetap menjaga daya beli masyarakat. Sesuai dengan PMK No. 101/2016, besaran PTKP yaitu Rp54 juta per tahun atau ekuivalen dengan penghasilan Rp4,5 juta per bulan.

"Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar 100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan," ungkap Ajib.

Kedua, pemerintah fokus mengalokasikan tax cost alias biaya pajak dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi. Dia mencontoh sektor properti hingga sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.

"Namun, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector [sektor swasta] tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan sehingga fiskal bisa tetap prudent," tutup Ajib.

Langkah Jokowi dan Strategi Prabowo

Kepala negara dan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah menyadari tren penurunan daya beli masyarakat. Jokowi menyadari dampak negatif ekonomi dari fenomena tersebut.

Dia pun meminta agar para kepala daerah menjaga daya beli masyarakat dengan segera merealisasikan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Jokowi menyoroti rendahnya realisasi belanja di kabupaten/kota yang baru mencapai 31%, sementara di tingkat provinsi sebesar 41%.

“Tolong dijaga daya beli rakyat! Dengan apa? Segera merealisasikan APBD-nya, secepatnya,” ucapnya saat memberikan pengarahan kepada Bupati/Walikota seluruh Indonesia di Istana Garuda, IKN Nusantara, Selasa (13/8/2024).

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper