Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menilik Urgensi LRT Bali, Ulangi Biaya Bengkak Kereta Cepat?

Proyek LRT Bali yang diproyeksi bakal menelan investasi Rp14,2 triliun perlu dievaluasi agar tidak mengalami biaya bengkak seperti Kereta Cepat WHOOSH.
Kereta Cepat WHOOSH./ Dok. KCIC
Kereta Cepat WHOOSH./ Dok. KCIC

Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah menyebut bahwa nilai investasi proyek LRT Bali mencapai US$876 juta atau setara dengan Rp14,2 triliun, berdasarkan hasil studi kelayakan.

Pembangunan LRT di Bali mendesak dilakukan seiring dengan kebutuhan moda transportasi untuk mengakomodasi tingginya pergerakan masyarakat. Terlebih, Bali merupakan salah satu destinasi utama wisata di Indonesia.

Berdasarkan data Pemprov Bali, total sepeda motor dan mobil pada 2023 mencapai 4,8 juta unit atau naik 4% sejak 2020 yang sejumlah 4,3 juta unit. Sementara, panjang jalan turun 4% dari 9.800 km pada 2020 menjadi 8.700 km pada 2023.

Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Risal Wasal, mengatakan rencananya jalur LRT Bali akan dibangun di bawah tanah atau underground.

LRT Bali tahap 1A rencananya memiliki lintasan sepanjang 6,04 kilometer. Jalur LRT rencananya akan membentang dari Bandara I Gusti Ngurah Rai ke kawasan Sunset Road,” kata Risal saat dihubungi, Jumat (7/6/2024).

Pada tahap awal ini, LRT Bali akan memiliki 5 stasiun pemberhentian, yakni Bandara Ngurah Rai, Kuta, Pura Desa Adat, Central Park, dan Sunset Road.

Risal tidak dapat memperinci target peletakan batu pertama (groundbreaking) proyek ini. Dia menuturkan, target ini bergantung pada kesiapan Pemprov Bali dalam menyelesaikan perencanaan, termasuk lelang atau tender proyek tersebut.

Dia menuturkan LRT Bali adalah salah satu bagian dari Bali Urban Rail yang merupakan rencana pengembangan angkutan massal di Bali.

Implementasi Bali Urban Rail selanjutnya akan dilaksanakan dengan skema business to business (B2B) dan dapat dimulai dari perpanjangan LRT Bali ataupun koridor lainnya di luar koridor LRT Bali.

Kendati demikian, Direktur Eksekutif Instran Deddy Herlambang menilai pembangunan layanan transportasi publik memang sangat diperlukan di Bali.

Menurutnya, fasilitas transportasi umum massal ini terutama dibutuhkan untuk mengurai kepadatan di daerah menuju atau dari Bandara I Gusti Ngurah Rai yang kerap mengalami kemacetan parah.

Deddy berpendapat proyek LRT ini sebaiknya tidak dibangun di bawah tanah seperti rencana dalam studi kelayakan yang ada. Hal tersebut karena pembangunan sistem perkeretaapian di bawah tanah akan memakan biaya yang sangat tinggi.

“Tidak perlu bangun LRT underground karena sangat mahal, kita tidak punya dana cukup. Apalagi sekarang kondisi utang sedang berat,” kata Deddy.

Dia menambagkan pembangunan jalur LRT Bali yang sejajar dengan permukaan tanah (at grade) atau layang (elevated) masih memungkinkan dilakukan dengan memenuhi peraturan di daerah tersebut.

Dia mencontohkan, jalur layang LRT dapat dibangun dengan ketinggian maksimal 15 meter. Adapun, peraturan adat Bali menyebut bangunan tidak diperbolehkan melebihi 15 meter.

Namun, menurutnya jalur LRT Bali sebaiknya dibangun sejajar dengan permukaan tanah. Hal ini mengingat biaya yang akan dikeluarkan dengan sistem ini akan lebih rendah dibandingkan dengan pembangunan jalur layang atau bawah tanah.

“Melihat kondisi di Bali, sebaiknya jalur LRT itu at grade saja, karena akan lebih murah dan tidak merusak fasad kota,” kata Deddy.

Hal senada juga disampaikan oleh Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) yang menyarankan pemerintah daerah untuk mengembangkan angkutan berbasis jalan terlebih dahulu sebelum mulai membangun moda jenis lain.

Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Antarkota MTI Pusat, Aditya Dwi Laksana menyebut pengembangan angkutan umum berbasis jalan akan lebih optimal dibandingkan moda kereta. Hal tersebut karena budaya penggunaan angkutan umum oleh masyarakat Bali belum terbentuk secara optimal.

“Angkutan umum berbasis jalan seperti Bus Rapid Transit, mikrobus dan bus shuttle sebenarnya lebih baik untuk dikembangkan lebih optimal di Bali,” kata Aditya.

Perencanaan terkait dengan pembiayaan investasi perlu dilakukan secara matang agar kejadian biaya bengkak seperti yang dialami oleh proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau WHOOSH tidak terulang.

Berdasarkan catatan Bisnis.com, Jumat (5/4/2024), total biaya bengkak proyek Kereta Cepat yang disepakati senilai US$1,2 miliar, sebanyak 40% atau US$480 juta di antaranya dibayarkan oleh pihak konsorsium China yang menjadi pemegang saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Dari jumlah tersebut, konsorsium China telah membayarkan dana sebanyak 25% atau sekitar US$120 juta. Dengan demikian, jumlah setoran modal yang belum diberikan ke KCIC adalah sekitar US$360 juta.

“Yang kurangnya 75% itu, sebesar 25% mereka sudah setor. Kita mengharapkannya bulan April ini sudah diberikan,” kata Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi.

Sementara itu, dia memastikan pihak konsorsium Indonesia telah memenuhi kewajiban porsi 60%-nya untuk pembayaran cost overrun Kereta Cepat WHOOSH. Secara terperinci, sebanyak 25% akan dibayar menggunakan dana dari PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai pemimpin konsorsium.

Kemudian, 75% lainnya dibayarkan menggunakan pinjaman yang telah disepakati dengan China Development Bank (CDB).

Sebelumnya, PT KCIC melalui KAI juga telah menerima pinjaman dari China Develpoment Bank (CDB) senilai Rp6,98 triliun untuk membayar pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat.  

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper