“Tidak perlu bangun LRT underground karena sangat mahal, kita tidak punya dana cukup. Apalagi sekarang kondisi utang sedang berat,” kata Deddy.
Dia menambagkan pembangunan jalur LRT Bali yang sejajar dengan permukaan tanah (at grade) atau layang (elevated) masih memungkinkan dilakukan dengan memenuhi peraturan di daerah tersebut.
Dia mencontohkan, jalur layang LRT dapat dibangun dengan ketinggian maksimal 15 meter. Adapun, peraturan adat Bali menyebut bangunan tidak diperbolehkan melebihi 15 meter.
Namun, menurutnya jalur LRT Bali sebaiknya dibangun sejajar dengan permukaan tanah. Hal ini mengingat biaya yang akan dikeluarkan dengan sistem ini akan lebih rendah dibandingkan dengan pembangunan jalur layang atau bawah tanah.
“Melihat kondisi di Bali, sebaiknya jalur LRT itu at grade saja, karena akan lebih murah dan tidak merusak fasad kota,” kata Deddy.
Hal senada juga disampaikan oleh Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) yang menyarankan pemerintah daerah untuk mengembangkan angkutan berbasis jalan terlebih dahulu sebelum mulai membangun moda jenis lain.
Baca Juga
Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Antarkota MTI Pusat, Aditya Dwi Laksana menyebut pengembangan angkutan umum berbasis jalan akan lebih optimal dibandingkan moda kereta. Hal tersebut karena budaya penggunaan angkutan umum oleh masyarakat Bali belum terbentuk secara optimal.
“Angkutan umum berbasis jalan seperti Bus Rapid Transit, mikrobus dan bus shuttle sebenarnya lebih baik untuk dikembangkan lebih optimal di Bali,” kata Aditya.
Perencanaan terkait dengan pembiayaan investasi perlu dilakukan secara matang agar kejadian biaya bengkak seperti yang dialami oleh proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau WHOOSH tidak terulang.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Jumat (5/4/2024), total biaya bengkak proyek Kereta Cepat yang disepakati senilai US$1,2 miliar, sebanyak 40% atau US$480 juta di antaranya dibayarkan oleh pihak konsorsium China yang menjadi pemegang saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Dari jumlah tersebut, konsorsium China telah membayarkan dana sebanyak 25% atau sekitar US$120 juta. Dengan demikian, jumlah setoran modal yang belum diberikan ke KCIC adalah sekitar US$360 juta.
“Yang kurangnya 75% itu, sebesar 25% mereka sudah setor. Kita mengharapkannya bulan April ini sudah diberikan,” kata Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi.
Sementara itu, dia memastikan pihak konsorsium Indonesia telah memenuhi kewajiban porsi 60%-nya untuk pembayaran cost overrun Kereta Cepat WHOOSH. Secara terperinci, sebanyak 25% akan dibayar menggunakan dana dari PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai pemimpin konsorsium.
Kemudian, 75% lainnya dibayarkan menggunakan pinjaman yang telah disepakati dengan China Development Bank (CDB).
Sebelumnya, PT KCIC melalui KAI juga telah menerima pinjaman dari China Develpoment Bank (CDB) senilai Rp6,98 triliun untuk membayar pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat.