Seperti diberitakan Bisnis sebelumnya, sidang kasus pemerasan dan gratifikasi dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo atau SYL mengungkap adanya dugaan pengondisian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada program lumbung pangan nasional atau Food Estate.
Untuk diketahui, Program Strategis Nasional (PSN) yang dinakhodai oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu dianggarkan dalam pos anggaran Kementerian Pertanian (Kementan). Adapun jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah melakukan upaya pembuktian di persidangan mengenai praktik lancung pada pengelolaan anggaran Kementan akibat kasus korupsi yang menjerat SYL.
Dalam sidang pada Rabu (8/5/2024), saksi untuk terdakwa SYL, mantan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono dan mantan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta yang menghadirkan saksi Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementan Hermanto.
Untuk diketahui, Kementan rajin mendapatkan WTP dari BPK terkait dengan laporan keuangan tahunannya. WTP itu bahkan diperoleh saat SYL masih menjabat menteri sejak 2019.
Hermanto mengonfirmasi bahwa Kementan mendapatkan WTP dari BPK saat dia menjabat sebagai Sesditjen PSP. Jaksa lalu bertanya kepadanya apabila mengenal beberapa pihak BPK.
"Sebelum kejadian WTP itu, saksi ada kenal namanya Haerul Saleh? Victor? Siapa orang-orang itu?," tanya jaksa di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (8/5/2024).
Baca Juga
"Kenal. Kalau Pak Victor itu memang auditor yang memeriksa kita," jawab Hermanto.
Hermanto lalu mengonfirmasi kenal dengan Haerul Saleh, yang merupakan Anggota IV BPK. Usai ditanya pengalaman pribadinya maupun pengetahuan tentang Haerul Saleh dan Victor, Hermanto menceritakan bahwa ada temuan BPK soal pengelolaan anggaran Food Estate di Kementan.
Menurutnya, temuan soal Food Estate itu tidak banyak namun mencakup nilai anggaran yang besar. Kemudian, jaksa mendalami alasan Kementan tetap mendapatkan WTP kendati adanya temuan soal program strategis pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo itu.
"Pada akhirnya kan menjadi WTP, nah itu bagaimana ada temuan-temuan tetapi bisa menjadi WTP? Bisa jelaskan kronologis?," tanya jaksa.
"Contoh satu temuan Food Estate, itu temuan kurang kelengkapan dokumen, administrasinya. Istilah di BPK itu bayar di muka dan itu belum menjadi TGR. Jadi itu ada kesempatan kita melengkapi dan menyelesaikan pekerjaan," tutur Hermanto.
Hermanto lalu mengungkap bahwa temuan itu terjadi pada tahun anggaran (TA) 2021, ketika dia belum menjabat. Namun, saat dia mulai menjabat Sesditjen di 2022, dia langsung berhadapan dengan BPK terkait dengan anggaran kementerian di tahun sebelumnya.
Dia juga mengaku tidak tahu menahu bagaimana proses Kementan meraih WTP dari BPK. Kemudian, jaksa melanjutkan pertanyaannya soal temuan auditor negara mengenai anggaran Food Estate itu.
"Kalau begitu kejadian apa saksi pernah bertemu dengan Pak Victor Daniel Siahaan, Toranda Saifullah? Apa yang disampaikan mereka kepada Kementan selaku yang diperiksa?," tanya jaksa.
"Pernah disampaikan konsep dari temuan-temuan itu bisa menjadi penyebab tidak bisanya WTP di Kementan," jawab Hermanto.
Kemudian, jaksa pun menelisik dugaan apabila adanya suatu permintaan yang diajukan oleh oknum BPK agar bisa mengondisikan opini WTP untuk Kementan. Hermanto pun tak membantah bahwa ada permintaan senilai Rp12 miliar agar Kementan tetap mendapatkan WTP kendati adanya temuan-temuan soal Food Estate.
"Terkait hal tersebut bagaimana, apakah kemudian ada permintaan atau yang harus dilakukan Kementan agar menjadi WTP?," tanya jaksa.
"Ada. Waktu itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp12 miliar untuk Kementan," kata Hermanto.
"Diminta Rp12 miliar oleh pemeriksa BPK itu?," tegas jaksa.
"Iya, Rp12 miliar oleh Pak Victor tadi," demikian kesaksian Hermanto.
Selanjutnya, Hermanto membenarkan pertanyaan jaksa bahwa ada rapat dengan pimpinan Kementan yang dihadiri SYL dan Kasdi, selaku menteri dan sekjen saat itu, untuk membahas permintaan oknum BPK tersebut. Akan tetapi, dia mengaku tidak menerima arahan apapun dari SYL maupun Kasdi. Dia pun menyebut pesan dari Victor soal fee Rp12 miliar tersebut disampaikan ke SYL dan Kasdi melalui Hatta, yang saat itu menjabat Direktur Alat dan Mesin Pertanian.
"Ada arahan dari Pak Menteri maupun pak Sekjen terhadap permintaan tadi?," tanya jaksa.
"Saya tidak menerima arahan dari Pak Menteri maupun Pak Sekjen terkait itu. Cuma ini minta disampaikan oleh Pak Victor untuk disampaikan ke pak Menteri," jawab Hermanto.
Untuk diketahui, jaksa KPK mendakwa SYL, Kasdi dan Hatta melakukan pemerasan terhadap pejabat dan direktorat di Kementan dan menikmati uang hasil pemerasan sebesar Rp44,54 miliar selama periode 2020-2023. Jaksa lalu menyebut SYL, Kasdi dan Hatta sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara memaksa sejumlah pejabat eselon I Kementan dan jajaran di bawahnya untuk memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi para terdakwa. Ketiganya juga didakwa menerima gratifikasi mencapai Rp40,64 miliar pada periode yang sama. Dakwaan gratifikasi itu merupakan dakwaan ketiga yang dilayangkan kepada SYL, Kasdi dan Hatta.