Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Padi RI Terancam Hilang 1,89 Juta Ton, BMKG: Awas Krisis Pangan!

BMKG mengingatkan dampak perubahan iklim terhadap produksi padi RI yang bisa berisiko memicu krisis pangan.
Petani beraktivitas di lahan persawahan di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (17/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Petani beraktivitas di lahan persawahan di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (17/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan dampak perubahan iklim bisa memicu pada krisis pangan global. Salah satu bukti nyata adalah penurunan produksi padi.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dan mengambil langkah konkret dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Perubahan iklim harus mendapat perhatian serius karena mengancam keberlangsungan kehidupan umat manusia.

Berdasarkan data Bappenas, perubahan iklim berisiko menurunkan produksi padi Indonesia sebesar 1,13 juta ton - 1,89 juta ton. Lahan pertanian seluas 2.256 hektar sawah pun terancam kekeringan.

Di sisi lain, lanjutnya, kondisi ketahanan pangan Indonesia, yang dilihat dari tingkat konsumsi pangan rumah tangga, juga membutuhkan perhatian. Angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan Prevalence of Undernourishment (PoU) pada 2022 meningkat menjadi 10,21 persen dari 8,49 persen pada 2021.

"Apabila situasi ini tidak mendapatkan perhatian serius, maka ramalan The Food and Agriculture Organization [FAO] mengenai krisis pangan global dan bencana kelaparan di tahun 2050 dapat menjadi kenyataan," katanya dalam siaran pers, Selasa (26/3/2024).

Dwikorita menerangkan, BMKG mencatat secara keseluruhan, tahun 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0,8 °C relatif terhadap periode klimatologi 1981 hingga 2020.

Tahun 2020, menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,7 °C, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,6 °C.

Dia menuturkan perubahan iklim saat ini telah mendekati batas yang disepakati bersama pada Perjanjian Paris COP21 pada 12 Desember 2015. Saat itu, seluruh dunia bersepakat harus membatasi kenaikan suhu rata-rata global di angka 1,5 °C pada 2030.

Namun faktanya, saat ini kenaikan suhu melaju lebih cepat dan sudah mencapai kenaikan 1,45°C di atas suhu rata-rata di masa pra-industri.

Dwikorita menambahkan dalam mengatasi laju perubahan iklim terdapat dua aksi yang dapat dilakukan yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berarti setiap pihak harus mengurangi penyebab daripada pemasanan global dan perubahan iklim. Sementara adaptasi ialah proses penyesuaian terhadap dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim.

Adapun dalam melakukan aksi mitigasi, terdapat terdapat lima sektor fokus aksi penurunan emisi gas rumah kaca dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Yaitu, sektor kehutanan, pertanian, energi, industri, dan limbah.

Sementara terdapat delapan fokus adaptasi yaitu ketahanan pangan, ketahanan ekosistem, ketahanan air, kemandirian energi, kesehatan, pemukiman perkotaan dan pedesaan, pesisir dan pulau kecil, dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan dan masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper