Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha kelapa sawit merespons soal usulan Kantor Staf Kepresidenan (KSP) agar skema Domestic Market Obligation (DMO) minyak goreng menggunakan basis produksi minyak sawit (crude palm oil/CPO).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono menilai bahwa usulan skema DMO minyak goreng berbasis produksi minyak sawit justru bakal membebani petani. Musababnya, selama ini kebijakan DMO hanya diterapkan kepada produsen yang melakukan ekspor minyak sawitnya.
Di sisi lain, saat ini petani rakyat juga masuk dalam kategori produsen minyak sawit. Menurutnya, untuk menerapkan skema DMO berbasis produksi, perlu ditetapkan kriteria produsen seperti apa yang wajib menyetor DMO.
"Saat ini DMO dikaitkan dengan ekspor karena ada kompensasi dari DPO berupa izin ekspor, kalau dikaitkan dengan produksi, siapa yang akan diwajibkan? Apakah semua produsen? Kalau semua, artinya petani pun akan terbebani ini [kebijakan DMO]," ujar Eddy saat dihubungi, Senin (25/3/2024).
Dia membeberkan bahwa rendahnya realisasi DMO minyak goreng saat ini memang disebabkan ekspor yang melandai. Di sisi lain, kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri, khususnya minyak goreng curah dan MinyaKita hasil DMO diduga terjadi di dalam rantai distribusi, alih-alih di tingkat produsen.
"Untuk penyaluran itu bukan di produsen tetapi di distributor. Kalau ekspor menurun ya maka DMO juga menurun," tuturnya.
Baca Juga
Sebelumnya, Deputi III KSP, Edy Priyono mengatakan, aturan DMO minyak goreng berbasis volume ekspor akan bermasalah saat permintaan ekspor minyak sawit melemah. Hal itu dianggap kurang efektif, lantaran pelemahan ekspor lebih dominan disebabkan oleh faktor eksternal yakni kondisi pasar global.
"Memang sumber utama masalahnya adalah ekspor yang rendah. Ternyata kebijakan yang selama ini kita anggap sudah cukup bagus, ternyata rawan ketika terjadi penurunan ekspor," ujar Edy dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi daerah, Senin (25/3/2024).
Anjloknya realisasi DMO bakal mengerek harga minyak goreng curah dan MinyaKita di masyarakat. Padahal, penyerapan DMO pada dasarnya sebagai upaya pemerintah untuk menjamin keterjangkauan harga dan pasokan minyak goreng di dalam negeri.
Pada Januari 2024 realisasi DMO minyak goreng hanya 212.116 ton atau 70,7% dari target bulanan 300.000 ton. Selanjutnya pada Februari 2024 realisasi DMO tercatat hanya 43,8% atau 131.486 ton. Bahkan, untuk periode Maret 2024, realisasi DMO hingga saat ini baru mencapai 28,6% atau hanya sekitar 85.890 ton.
Adapun selama ini, Kemendag memberlakukan rasio ekspor CPO dalam kebijakan DMO sebesar 1:4 sejak Mei 2023. Artinya, produsen bisa melakukan ekspor dengan volume 4 kali dari volume penyaluran DMO. Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif pengalih untuk DMO berupa minyak kemasan bantal sebanyak 2 kali dan 2,25 kali untuk kemasan selain bantal.
"Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan supaya kebijakan DMO ini dikaitkan dengan produksi, jadi tidak lagi dikaitkan dengan ekspor. Sehingga nanti kalau produsen memproduksi sekian [ton], maka sekian persen harus dialokasikan untuk minyak curah dan minyak kemasan sederhana untuk di dalam negeri," jelasnya.