Bisnis.com, JAKARTA -- China memilih bertahan dengan konsep stimulus yang dijalankan di tengah desakan dana moneter internasional (IMF) untuk melakukan reformasi ekonomi terutama lebih liberal atau dikenal dengan pro pasar.
Perdana Menteri China Li Qiang dalam sambutannya pada China Development Forum berpendapat bahwa masih banyak ruang bagi kebijakan makro ekonomi untuk diperluas. Langkah untuk membuat ekonomi negara kembali berputar lebih kencang. Keyakinan Li ditopang pertumbuhan harga konsumen yang relatif rendah dan tingkat utang pemerintah pusat tidak tinggi.
“Beberapa kesulitan dan permasalahan tidak seserius yang diperkirakan orang,” jelas Li, yang sebelumnya mengakui bahwa banyak yang mengkhawatirkan risiko di sektor properti China dan utang pemerintah daerah, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (25/3/2024).
Apalagi, kata Li, langkah-langkah yang diambil untuk membatasi risiko di bidang yang tertekan seperti properti telah menunjukan perkembangan positif.
Negeri Tirai Bambu telah melaporkan awal yang baik pada tahun ini, dengan pertumbuhan ekspor, produksi industri dan investasi yang tumbuh melampaui ekspektasi. Hal ini telah mengurangi urgensi bagi para pihak berwenang untuk membuat stimulus tambahan dalam jangka pendek.
Di lain sisi, para ekonom mengatakan bahwa diperlukan lebih banyak dukungan kebijakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius, yakni sekitar 5% pada tahun ini. Mereka menyebut prospek jangka panjang ekonomi China juga menghadapi sejumlah tantangan. Hal ini termasuk deflasi beruntun yang belum pernah terjadi sejak 1990-an, penurunan properti yang berkepanjangan dan rendahnya kepercayaan di kalangan investor luar negeri.
Baca Juga
Pemerintah sendiri disebut tengah menyiapkan langkah antisipasi. Untuk tahun ini, Li menyebutkan pemerintah akan melahirkan kebijakan untuk mendorong peningkatan permintaan domestik. Ia juga akan menekankan fokus China untuk mengembangkan manufaktur dan teknologi canggih.
Meski demikian, Ia tidak menjelaskan secara rinci bagaimana kebijakan dapat diperkuat. Li hanya mengatakan bahwa China akan terus mendorong agar biaya pinjaman secara keseluruhan dapat menurun, setelah memandu bank-bank untuk memangkas suku bunga acuan sektor properti pada rekor tertinggi bulan lalu.
Di lain sisi, Direktur Pelaksana IMF Kristalian Georgieva menuturkan bahwa China dapat melihat pertumbuhan tambahan sebesar 20% selama 15 tahun kedepan, jika melakukan reformasi mendasar atas perekonomiannya.
"Dengan paket reformasi pro-pasar yang komprehensif, RRT dapat tumbuh jauh lebih cepat daripada skenario status quo," ujarnya, dengan memperkirakan produk domestik bruto yang akan ditambahkan akan bernilai US$3,5 triliun pada saat ini, atau sekitar Rp55.339 triliun.
Adapun, kebijakan leberalisasi ala IMF ini diyakini dapat mengatasi berbagai masalah seperti mengangkat kembali pasar properti, peningkatan konsumsi domestik, lingkungan bisnis, kerangka kerja peraturan untuk kecerdasan buatan dan harga listrik.