Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma) mengungkap tantangan berat industri logam dasar menopang pertumbuhan kinerja ekspor manufaktur tahun ini.
Padahal, industri logam mampu menjadi penyumbang paling besar yakni senilai US$42 miliar dari total kinerja ekspor manufaktur senilai US$186,98 miliar.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menargetkan nilai ekspor industri pengolahan nonmigas mencapai US$193,4 miliar pada 2024.
Ketua Umum Gamma Dadang Asikin mengatakan target tersebut cukup agresif jika melihat berbagai tantangan yang dihadapi industri pengolahan, khususnya logam dasar.
"Saya melihat target yang di tetapkan oleh pemerintah tersebut cukup agresif," kata Dadang kepada Bisnis.com, Kamis (14/3/2024).
Dalam hal ini, Dadang menyebut tantangan utama awal tahun 2024 yang menghempas industri logam yakni kebijakan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) oleh Uni Eropa (UE).
Baca Juga
Kebijakan tersebut mulai diberlakukan pada 1 Januari 2024 dan berdampak besar terhadap industri baja dalam negeri. Pasalnya, semakin banyak negara-negara Eropa yang menyetop impor baja dan produk logam dasar lainnya dari RI.
"Sementara kita tahu basis proses pengolahan logam di kita menggunakan batu bara yang tentunya mengeluarkan emisi," ujarnya.
Menurut dia, hal ini akan menambah tekanan atau hambatan untuk menggenjot kinerja ekspor logam RI. Meskipun, volume ekspor baja ke Eropa masih relatif kecil, kondisi tersebut tetap harus diperhatikan.
Adapun, ekspor produk baja ke Uni Eropa sebesar 975.000 ton atau hanya sekitar 7% dari total volume ekspor. Dari sisi nilai, ekspor produk baja nasional ke UE mencapai US$1,04 juta atau hanya mencapai 4% dari keseluruhan ekspor produk baja.
"Kita tetap harus menyikapi hal tersebut kedepannya walaupun saat ini presentasi ekspor logam kita ke negera Uni Eropa masih kecil dibandingkan total ekspor baja nasional," tuturnya.
Dalam kondisi ini, Dadang mendorong pemerintah untuk memberikan dukungan berupa kemudahan yang memungkinkan transisi ke teknologi net zero emission.
Hal ini dinilai penting agar industri mampu menghadapi tantangan global dan menembus barrier yang berkembang dengan tetap bisa menjaga daya saing
"Mungkin serangkaian insentif harus sudah mulai dipikirkan dan ditawarkan oleh pemerintah, bentuknya mungkin pemerintah perlu sounding kepada para pelaku industri," terangnya.