Bisnis.com, JAKARTA - Ombudsman melakukan pemeriksaan kepada sejumlah petinggi di Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian terkait dengan dugaan maladministrasi penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) bawang putih.
Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika membeberkan terdapat empat potensi maladministrasi yang dilakukan pejabat Kementan dalam penerbitan RIPH. Empat potensi maladministrasi tersebut antara lain dugaan tidak memberikan layanan, penundaan berlarut, tidak kompeten dalam pelayanan dan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan RIPH.
"Setelah kami melakukan konsolidasi di awal tahun ini, maka mulai hari ini sampai 18 Januari 2024 kami melakukan pemeriksaan maraton [kepada pejabat Kementan]," ujar Yeka di Kantor Ombudsman, Selasa (16/1/2024).
Secara terperinci, Yeka menyebut ada empat pejabat di Direktorat Jenderal Hortikultura yang akan diperiksa Ombudsman. Pertama pada pemeriksaan hari ini 16 Januari 2024 yaitu Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto selaku pihak yang didelegasikan untuk menerbitkan RIPH berdasarkan pasal 4 Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.39/2019.
Kemudian, pada 17 Januari 2024 akan diperiksa Sekretaris Ditjen Hortikultura dan Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura sebagai pihak yang melakukan proses verifikasi dan validasi persyaratan teknis permohonan RIPH. Selanjutnya, pada pemeriksaan 18 Januari akan dipanggil Direktur Perlindungan Hortikultura selaku pihak yang diamanatkan melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan hortikultura.
Adapun untuk hasil temuan beserta rekomendasi tindakan korektif akan disampaikan Ombudsman pekan depan usai pemeriksaan pejabat Kementan tersebut rampung.
Baca Juga
"Semoga sebelum Pemilu [pemilihan umum] selesai nanti kita update minggu depan terkait dengan pemeriksaan pekan ini," katanya.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Rabu (8/11/2023), Yeka membeberkan bahwa pihaknya menemukan adanya sejumlah permasalahan pelayanan penerbitan RIPH bawang putih di Kementerian Pertanian. Adapun RIPH selama ini menjadi salah satu syarat bagi importir untuk mengimpor produk pertanian.
Yeka mengatakan, Ombudsman menemukan adanya pemberian biaya penanaman bawang putih dari importir yang jumlahnya kurang dari kebutuhan petani.
Hasil pantauan Ombudsman di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung ditemukan biaya penanaman bawang putih sebesar Rp70 juta per hektare per musim tanam. Namun, kata Yeka, sejumlah importir hanya memberikan dana biaya tanam kepada petani pelaksana wajib tanam bawang putih sebesar Rp 15 juta - Rp 20 juta per hektare.
Di sisi lain, Yeka menyebut pihaknya juga menemukan adanya dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih. Adapun berdasarkan keterangan pelapor dan seorang importir mengaku dimintai sejumlah uang oleh oknum dari Kementerian Pertanian sekitar Rp200 - Rp250 per kilogram untuk melancarkan penerbitan RIPH bawang putih.
Selain itu, masalah lain yang ditemukan Ombudsman yakni adanya calo dalam pengurusan wajib tanam para importir. Ombudsman menemukan seorang calo di Temanggung yang mengelola wajib tanam bawang putih untuk 16 perusahaan importir bawang putih.
Lebih lanjut, Ombudsman juga menemukan fakta bahwa importir penerima RIPH bawang putih tidak melaksanakan kewajiban tanam. Importir yang sudah mendapatkan RIPH dan Surat Persetujuan Impor (SPI) tidak menjalankan wajib tanam.
"Setelah dilakukan analisis, ternyata importir tersebut lebih memilih untuk membuat perusahaan baru untuk memohon impor di tahun berikutnya, daripada melaksanakan kewajiban wajib tanam bawang putih. Karena biaya untuk membuat perusahaan lebih rendah," ungkap Yeka.