Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menambah anggaran subsidi pupuk sebesar Rp14 triliun pada tahun terakhir masa jabatannya. Kebijakan populis jelang transisi ini pun dinilai sarat kepentingan politik?
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menduga adanya kemungkinan presiden menginginkan tingkat kepuasan publik tetap tinggi hingga lengser pada Oktober 2023.
Sejumlah kebijakan yang bersifat populis terus digencarkan oleh Kepala Negara di tahun terakhirnya, mulai dari bantuan pangan beras hingga teranyar tambahan anggaran subsidi pupuk.
"Mungkin saja presiden ingin sampai lengser nanti tingkat kepuasan publik masih tinggi. Selain pupuk, juga ada bansos beras yang diberikan sampai Juni [2024] nanti," kata Khudori saat dihubungi, Rabu (3/1/2024).
Menurutnya, penambahan anggaran subsidi pupuk di tahun ini belum tentu dapat menuntaskan persoalan pangan di Tanah Air. Bahkan dia menganalogikan subsidi pupuk hanya sekadar obat penghilang nyeri.
"Nyerinya bisa hilang, tapi penyakitnya tidak sembuh. Kenapa? karena tidak menyentuh akar dan jantung masalah pupuk bersubsidi," ucapnya.
Baca Juga
Salah satu akar persoalan, kata Khudori, subsidi pupuk yang diberikan hanya berbasis anggaran. Alih-alih berdasarkan volume pupuk yang dibutuhkan petani.
Dia menjelaskan, saat subsidi berbasis anggaran dijalankan terjadi lonjakan harga gas dan tekanan kurs rupiah, maka volume pupuk yang disalurkan bakal lebih sedikit dari yang dibutuhkan.
"Biaya produksi pupuk amat tergantung pada harga gas dan nilai kurs rupiah," jelasnya.
Setali tiga uang, peneliti Center of Reform on Economics (Core), Eliza Mardian menyoroti ihwal momen atau waktu Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus terhadap pupuk bersubsidi.
Seharusnya, Kepala Negara bisa beraksi mengatasi persoalan pupuk subsidi lebih awal, yaitu saat harga pupuk kian melejit signifikan akibat meletusnya perang Rusia dan Ukraina pada 2022.
"Jika memang murni karena keresahan akibat keluhan petani, semestinya kenaikan anggaran subsidi dilakukan sejak 2023 kemarin. Jika dilakukan sekarang, ya publik dapat menilai sendiri," tuturnya.
Kendati begitu, Eliza mengakui bahwa tambahan anggaran pupuk subsidi setidaknya dapat mengurangi beban biaya produksi petani dalam membeli pupuk. Pasalnya, harga pupuk nonsubsidi pun 2,5 kali lebih mahal dari pupuk subsidi.
"Penambahan anggaran ini lebih ke menjaga margin petani dan menekan biaya produksi agar minat petani menanam tetap terjaga," imbuhnya.
Sebelumnya, diberitakan Bisnis.com, Senin (7/2/2022), Berdasarkan data World Bank-Commodity Market Review per 4 Januari 2022, Pupuk Urea dan diamonium fosfat (DAP) mengalami kenaikan yang signifikan.
Sepanjang Januari hingga Desember 2021 misalnya, harga diamonium fosfat (DAP) di pasar internasional mengalami kenaikan sebesar 76,95%. Saat awal 2021, harga pupuk itu mencapai US$421 per ton, pencatat itu berakhir di posisi US$745 per ton pada Desember 2021.
Di sisi lain, pupuk urea mengalami peningkatan harga mencapai 235,85% sepanjang 2021. Pupuk Urea sempat berada di harga US$265 per ton belakangan naik menjadi US$890 per ton pada Desember 2021.
Di sisi lain, harga gas alam dunia mengalami kenaikan dalam satu tahun terakhir. Harga gas alam dunia di pasar acuan Henry Hub mengalami kenaikan dari sekitar US$2,4 Million British Thermal Units (MMBtu) pada Januari 2021 menjadi sekitar US$3,96 MMBtu per 21 Januari 2022. Malahan, harga gas alam sempat menyentuh angka tertingginya selama setahun terakhir sebesar US$5,6 MMBtu pada September 2021.
Sementara itu, menyitir data Kementerian Keuangan yang dihimpun DataIndonesia.id, pada tahun-tahun awal memimpin dalam dua periode (2015 dan 2019), Jokowi cenderung menambah belanja subsidi pupuk.
Pada 2015 tahun awal periode pertama memimpin, Jokowi menambah alokasi belanja subsidi pupuk sekitar 48,36% dari Rp21,05 triliun pada 2014 menjadi Rp31,31 triliun pada 2015.
Selain itu, pada 2019 di tahun awal periode kedua pemerintahannya, Jokowi menambah belanja subsidi pupuk sebesar 2,08% dari Rp33,61 triliun pada 2018 menjadi Rp34,31 triliun pada 2019.