Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) melihat adanya kenaikan cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10% pada 2024 berpotensi mendorong inflasi secara bertahap di sepanjang tahun ini.
Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar menyampaikan berdasarkan data historis untuk inflasi rokok, umumnya inflasi yang terjadi bertahap setelah adanya kenaikan tarif.
Meski demikian, dia menilai kebijakan penaikan cukai rokok tidak serta merta langsung mendorong inflasi pada rokok walaupun aturan tersebut berlaku per 1 Januari 2024.
“Kenaikan cukai rokok itu, termasuk untuk rokok elektrik, diduga akan memberi andil inflasi pada bulan-bulan berikutnya yang kemungkinan pada Januari atau bulan berikutnya secara bertahap,” ungkapnya dalam konferensi pers, Selasa (2/1/2024).
Berdasarkan data BPS, komoditas rokok menjadi salah satu kontributor besar dalam kinerja inflasi Indonesia. Dalam inflasi tahunan Desember 2023 sebesar 2,61%, komoditas rokok kretek filter menjelaskan 0,17% dari realisasi tersebut.
Sementara jika diperinci berdasarkan kelompok pengeluaran, inflasi tahunan terbesar terjadi di kelompok makanan minuman dan tembakau yaitu sebesar 6,18% dengan andil 1,6% terhadap inflasi umum.
Baca Juga
Selain rokok kretek filter, lomoditas yang memebrikan inflasi kelompok ini adalah beras dengan andil 0,53%, cabai merah 0,24%, cabai rawit andil 0,1%, dan bawang putih yang memberikan andil 0,08%.
Sementara itu, pada 2022 lalu pemerintah telah menetapkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok yang naik rata-rata 10% pada 2023 dan 2024.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 191/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) berupa sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot, dan tembakau iris.
Golongan sigaret kretek mesin (SKM) I dan II rata-rata naik antara 11,5 persen—11,75 persen, sigaret putih mesin (SPM) I dan II naik sekitar 11 persen, serta sigaret kretek tangan (SKT) rata-rata 5 persen.