Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengaku belum mendapatkan banjir pesanan di masa kampanye politik yang akan berlangsung hingga Februari 2024.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, pesanan untuk kaos dan produk tekstil lainnya memang mulai masuk, tetapi masih belum signifikan berpengaruh pada pertumbuhan kinerja. Bahkan, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun politik pada 2019.
"Ada pesanan, tetapi sedikit sekali tidak signifikan. Belum sampai 10% dari tahun politik 2019 lalu, lebih tinggi tahun politik sebelumnya," kata Redma kepada Bisnis, Jumat (8/12/2023).
Pada tahun politik, umumnya permintaan pasar akan mengungkit produksi tekstil hingga berdampak pada kebutuhan bahan baku. Pesanan yang biasanya diterima, seperti kaos, jaket, syal, dan produk jadi lainnya.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir industri tekstil tengah mengalami kontraksi kinerja yang ditandai dengan turunnya permintaan hingga utilisasi manufaktur yang tertekan.
"Bahan bakunya di pabrik juga numpuk karena di pasar penuh dengan barang impor," ujarnya.
Baca Juga
Banjir barang impor ilegal masih menjadi polemik yang tak kunjung terselesaikan hingga kini. Padahal, pemerintah pun telah mendorong penerapan pengawasan border untuk menahan laju impor.
Kendati demikian, Redma mengingatkan regulasi pengawasan border yang dilakukan oleh petugas bea cukai di kawasan pabean perlu ditambah dengan penegakkan hukum agar tak ada lagi celah impor ilegal.
"Kalau langkah pemerintah efektif, perbaikan kondisi akan terlihat dalam 4 bulan ke depan karena barang impor ini sudah banjir terlalu banyak dipasar," kata Redma kepada Bisnis, Senin (9/10/2023).
APSyFI membagikan data perbandingan data Badan Pusat Statistik (BPS) nasional terkait impor TPT dengan data ekspor China. Hasilnya menunjukkan gap dalam jumlah besar yang menunjukkan derasnya impor ilegal.
Berdasarkan data dari General Custom Administration of China, ekspor TPT (HS 50-63) China ke Indonesia mencapai US$6,5 miliar, sedangkan BPS mencatat angka impor TPT dari China hanya US$3,55 miliar.
Dari data tahun 2022 tersebut, Redma mencatat berdasarkan data International Trade Center (ITC), terdapat gap senilai US$2,94 miliar atau setara Rp43 triliun yang tidak masuk dalam catatan resmi dari BPS.