Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Tekstil Masih Merana Meski Pesanan di Tahun Politik Bergulir

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengaku belum mendapatkan banjir pesanan di masa kampanye politik ini.
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengaku belum mendapatkan banjir pesanan di masa kampanye politik yang akan berlangsung hingga Februari 2024.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, pesanan untuk kaos dan produk tekstil lainnya memang mulai masuk, tetapi masih belum signifikan berpengaruh pada pertumbuhan kinerja. Bahkan, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun politik pada 2019.

"Ada pesanan, tetapi sedikit sekali tidak signifikan. Belum sampai 10% dari tahun politik 2019 lalu, lebih tinggi tahun politik sebelumnya," kata Redma kepada Bisnis, Jumat (8/12/2023). 

Pada tahun politik, umumnya permintaan pasar akan mengungkit produksi tekstil hingga berdampak pada kebutuhan bahan baku. Pesanan yang biasanya diterima, seperti kaos, jaket, syal, dan produk jadi lainnya. 

Namun, dalam beberapa tahun terakhir industri tekstil tengah mengalami kontraksi kinerja yang ditandai dengan turunnya permintaan hingga utilisasi manufaktur yang tertekan. 

"Bahan bakunya di pabrik juga numpuk karena di pasar penuh dengan barang impor," ujarnya. 

Banjir barang impor ilegal masih menjadi polemik yang tak kunjung terselesaikan hingga kini. Padahal, pemerintah pun telah mendorong penerapan pengawasan border untuk menahan laju impor. 

Kendati demikian, Redma mengingatkan regulasi pengawasan border yang dilakukan oleh petugas bea cukai di kawasan pabean perlu ditambah dengan penegakkan hukum agar tak ada lagi celah impor ilegal. 

"Kalau langkah pemerintah efektif, perbaikan kondisi akan terlihat dalam 4 bulan ke depan karena barang impor ini sudah banjir terlalu banyak dipasar," kata Redma kepada Bisnis, Senin (9/10/2023). 

APSyFI membagikan data perbandingan data Badan Pusat Statistik (BPS) nasional terkait impor TPT dengan data ekspor China. Hasilnya menunjukkan gap dalam jumlah besar yang menunjukkan derasnya impor ilegal.  

Berdasarkan data dari General Custom Administration of China, ekspor TPT (HS 50-63) China ke Indonesia mencapai US$6,5 miliar, sedangkan BPS mencatat angka impor TPT dari China hanya US$3,55 miliar.  

Dari data tahun 2022 tersebut, Redma mencatat berdasarkan data International Trade Center (ITC), terdapat gap senilai US$2,94 miliar atau setara Rp43 triliun yang tidak masuk dalam catatan resmi dari BPS.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper