Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Jonathan Ersten Herawan

Analis ISEI & Wakakomtap II Kajian Kebijakan Publik Kadin Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Reorientasi Peta Industri Nasional

Indonesia menghadapi tantangan dalam industrialisasi, fokus pada kendaraan listrik (EV) dengan potensi kesalahan masa lalu. Diperlukan strategi baru yang mengedepankan inovasi dan pengembangan SDM, bukan hanya infrastruktur fisik.
Kawasan Industri Batamindo merupakan kawasan industri pertama dan vital di Batam. /Istimewa
Kawasan Industri Batamindo merupakan kawasan industri pertama dan vital di Batam. /Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia berada dalam keterpurukan dan disrupsi strategis dalam menentukan arah industrialisasi nasional baik dari faktor global dan domestik. Pemerintah saat ini mengedepankan pengembangan kendaraan listrik (EV) sebagai sektor prioritas, dengan pertimbangan keunggulan sumber daya alam seperti nikel dan mineral lainnya.

Strategi ini mencerminkan semangat New Developmental Strategy yang menjadi sebuah pendekatan pembangunan baru yang menempatkan negara sebagai pengarah aktif dalam industrialisasi dan pencipta pasar.

Namun, keberhasilan pembangunan tidak hanya ditentukan oleh keberadaan proyek besar, melainkan oleh kecermatan memilih sektor yang mampu menciptakan nilai tambah tinggi dan adaptif terhadap perubahan global. New Developmental Strategy dalam pembangunan nasional harus berorientasi pada scientific development approach di mana semua kebijakan yang didorong harus berorientasi pada evidence base tidak hanya applied base.

Dalam teori ekonomi, pembangunan industri yang berkelanjutan bisa dijelaskan melalui dua model: Solow dan Romer. Model Solow menekankan pentingnya akumulasi modal fisik seperti infrastruktur, pabrik, dan peralatan. Sementara Romer melihat pertumbuhan ekonomi jangka panjang lebih ditentukan oleh investasi pada modal manusia dan inovasi, seperti pendidikan tinggi, riset, dan kepemilikan teknologi.

Selama ini, pendekatan Indonesia terlalu condong pada model Solow. Kita sibuk membangun kawasan industri, smelter, dan infrastruktur fisik, tetapi kurang memperhatikan pengembangan SDM unggul, lembaga riset teknologi, dan sistem perlindungan kekayaan intelektual. Padahal, integrasi kedua model inilah yang dibutuhkan untuk membangun basis industri digital yang kompetitif.

Pengalaman Indonesia membangun industri pesawat terbang melalui IPTN pada 1990-an menjadi pelajaran penting. Meskipun lahir dari semangat kemandirian teknologi, proyek tersebut gagal secara komersial karena terlalu tergantung pada subsidi negara, minim pasar, dan tidak berakar pada kebutuhan domestik. Ini menunjukkan bahwa membangun industri tanpa mempertimbangkan ekosistem teknologi dan daya saing global berisiko tinggi. Saat ini, kita melihat bahwa tidak ada nilai tambah signifikan bahkan output produksi dari industry dirgantara kita yang membuktikan bahwa strategi industrialisasi kita pada dekade lalu kurang tepat.

Apabila dilihat dari kacamata tersebut, pengembangan industri EV memiliki potensi pengulangan kesalahan yang sama. Indonesia saat ini lebih berperan sebagai penyedia bahan mentah dan perakitan akhir, bukan pemilik teknologi inti seperti baterai, software kendaraan, dan sistem konektivitas. Industri EV kita masih sangat menguntungkan China, Jepang, dan Korea Selatan yang merupakan investor besar dalam industri tersebut. Posisi Indonesia saat ini hanya menerima limpahan kecil dari pengembangan industri ini.

Sementara negara lain seperti China dan AS sudah jauh di depan dalam penguasaan riset dan pasar global. Ketika industri EV menjadi fokus kita, mereka sudah bergerak semakin digital dan mendorong inovasi, Indonesia sudah dipastikan tertinggal jika hanya mengandalkan keunggulan bahan mentah terutama industry EV yang capital intensive.

Sebaliknya, sektor yang seharusnya menjadi fokus adalah industri elektronika, kecerdasan buatan (AI), komputasi, dan teknologi blockchain karena sektor-sektor ini lebih cepat bertransformasi, tidak terlalu padat modal fisik, dan membuka peluang pengembangan kekayaan intelektual dalam bentuk hak cipta, paten, dan layanan digital ekspor. Hal ini juga lebih sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara dengan populasi digital besar dan bonus demografi yang tinggi. Kita juga melihat, ekspor di sektor ini hanya dengan biaya rendah bahkan tidak memerlukan biaya kontainer karena bersifat useable cross border.

Saat ini, produktivitas masyarakat dan industri Indonesia belum memberikan nilai tambah optimal karena hanya berfokus pada sektor perdagangan besar & eceran serta transportasi dan logistik bahkan sektor jasa berkontribusi sebesar 57% terhadap PDB. Pendekatan New Developmental Strategy yang menyusun ulang peta industrialisasi diperlukan dan mendorong peran negara. Artinya Pemerintah harus mampu mengarahkan investasi, melindungi sektor strategis, serta menciptakan permintaan domestik melalui insentif dan pengadaan barang/jasa berbasis teknologi dalam negeri.

Dalam konteks pembangunan berbasis inovasi dan ekonomi kerakyatan, hadir dua inisiatif domestik yang krusial: Danantara dan Koperasi Desa Merah Putih). Danantara berperan sebagai liquidity provider untuk ekonomi digital dan sektor UMKM di mana ekosistem inclusive closeloop dapat diciptakan. Dengan teknologi blockchain dan sistem keuangan digital yang transparan, Danantara mampu menjembatani kebutuhan likuiditas bagi startup, koperasi, hingga sektor informal yang belum terjangkau lembaga keuangan konvensional. Ini memungkinkan percepatan pertumbuhan ekonomi tanpa harus menunggu pembiayaan dari sektor perbankan yang sering kali berbiaya tinggi.

Sementara itu, Kopdes Merah Putih didesain sebagai backbone ekonomi riil nasional dengan mendorong sistem koperasi multipihak dimana sebagai koperasi modern yang menghubungkan petani, nelayan, dan UMKM dengan akses pasar, teknologi, dan pembiayaan. Kopdes berperan menyerap inovasi digital dan mendistribusikannya ke desa-desa, memastikan bahwa transformasi teknologi juga terjadi di akar rumput. Dengan ini, industrialisasi tidak hanya menjadi urusan kota besar dan kawasan industri, tetapi menjadi gerakan kolektif yang merata.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro