Bisnis.com, JAKARTA – Tujuan penerapan neraca komoditas guna memonitor aliran importasi sesuai kebutuhan industri dalam negeri. Sebaliknya, realisasi penerapan justru memukul balik kinerja industri manufaktur seiring berbagai kendala teknis.
Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mengungkap regulasi pemerintah terkait neraca komoditas tersebut menjadi salah satu yang menghambat arus masuk impor bahan baku/penolong untuk industri manufaktur dalam 5 bulan terakhir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor bahan baku/penolong mencapai US$13,44 miliar pada Oktober 2023 atau turun 6,08% (year-on-year/yoy).
Secara kumulatif atau hingga Oktober 2023, total nilai impor bahan baku penolong tercatat turun US$19,32 miliar atau 12,65% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Melemahnya impor bahan baku/penolong berindikasi pada penurunan utilitas industri manufaktur. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan pada Agustus 2023, tingkat utilisasi total sektor industri mencapai 71%, masih jauh dari tingkat utilisasi sebelum pandemi sebesar 76,30%.
Ketua Umum GINSI Subandi mengeluhkan penggunaan Sistem Nasional Neraca Komoditas atau Sinas-NK yang menghambat aktivitas importir lantaran proses perizinan yang semakin berbelit.
Baca Juga
Hal ini dapat terlihat dari mandeknya rekomendasi izin impor dari Kementerian teknis yang semakin sulit dan tata cara penggunaan neraca komoditas masih menjadi hal yang awam bagi importir.
Aturan tersebut juga dianggap menghalangi aktivitas importir umum (API-U) untuk importasi bahan baku manufaktur. Adapun, polemik berbelit itu muncul dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 46/2023 sebagai revisi dari PP 28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
"Akibatnya industri yang selama ini di support oleh importir umum masih mengalami kekurangan bahan bakunya atau bahan penolong lainya," kata Subandi kepada Bisnis, dikutip Senin (20/11/2023).
REVISI ATURAN
Dalam revisi beleid tersebut, impor bahan baku/penolong dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai angka pengenal importir umum (API-U).
Namun, implementasinya masih akan tetap dibatasi. Oleh karena itu, importir umum saat ini tengah menunggu aturan turunan berupa Peraturan Menteri dari kementerian terkait untuk penjelasan aturan teknis.
"Kondisi importir masih tetap jalan kecuali importir umum [API-U] yang selama ini mengimpor bahan baku dan bahan penolong untuk kebutuhan industri manufaktur yang bisa melakukakan aktivitas," tuturnya.
Pemerintah pusat menetapkan penggunaan Sistem Nasional Neraca Komoditas atau Sinas-NK dalam rangka menjamin ketersediaan bahan baku dan/atau bahan penolong. Adapun, neraca komoditas mencakup data lengkap dan akurat terkait kebutuhan dan pasokan bahan baku/penolong untuk industri.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma G. Wirawasta menyampaikan pemerintah tidak transparan dalam memberikan besaran kuota impor bagi API-U dan importir produsen (API-P).
Terlebih, dia menyoroti implementasi neraca komoditas yang belum diberlakukan untuk industri Tekstil dan Produk Tesktil (TPT), sehingaa kebijakan aturan impor bahan baku masih terkait Tata Niaga.
"Kalau hanya berdasarkan VKI [verifikasi kemampuan industri] dan yang diverifikasi kebanyakan importir maka impornya akan terus jalan, dan hasil verifikasi ini kan tertutup di internal perindustrian, kebijakan pemberian kuotanya tidak transparan," ujarnya kepada Bisnis.
Di sisi lain, Redma memproyeksi industri TPT dari hulu ke hilir masih akan tumbuh negatif hingga akhir 2023 dan berpotensi berlanjut ke 2024. Sebab, kebijakan importasi barang jadi ilegal masih belum teratasi.
Padahal, pemerintah telah mengubah kebijakan larangan terbatas (lartas) dari pengawasan Post Border menjadi Border melaui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Namun, efektivitasnya masih diragukan oleh kalangan pengusaha.
"Kami belum melihat titik terang, meski sejumlah kebijakan akan dikeluarkan untuk membatasi impor. Hanya saja kebijakan ini tidak fokus pada sumbernya, di pelabuhan, di mana Bea Cukai yg menjadi sumber masalah sama sekali tidak tersentuh," jelasnya.
Di sisi lain, Chairman The Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) Purwono Widodo menyebutkan pihaknya justru melihat peluang dari kehadiran neraca komoditas yang dapat menjadi solusi pengendalian impor sehingga meningkatkan daya saing industri nasional.
Bagi industri besi dan baja, neraca komoditas menjadi angin segar untuk memenuhi kebutuhan impor berbagai jenis produk, tanpa membanjiri pasokan dalam negeri. Meskipun efek berganda dari kebijakan tersebut belum tampak.
"Harus kita cermati bersama, secara sistem itu sudah jadi, secara efektivitasnya kita lihat nanti, tetapi tujuannya sangat bagus, artinya dulu kan kita selalu ribut ya antara importir umum dan produsen, sekarang ditengahi, oke lah impor, tapi beberapa saja, jangan terus impor," ujarnya.
BANYAK KENDALA
Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan & Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, Eko S. A Cahyanto mengakui implementasi neraca komoditas belum sepenuhnya diterima oleh pelaku usaha industri.
"Kendala itu ada di masing-masing sektornya, karena setiap sektor itu punya karakteristik yang beda. Tetapi, kalau kita bisa mengontrol supply nya tentu pasti akan lebih baik," kata Eko saat ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Tanpa Sinas-NK, dia melihat adanya ketidakadilan dan ketidakseimbangan antara kebutuhan pasar dan pasokan barang. Jika tidak diatur, maka ancaman banjir impor akan terus terjadi dan menghambat daya saing industri.
Adapun, pemberlakuan neraca komoditas diyakini dapat efektif mengendalikan impor melalui keterbukaan dan transparansi data yang sesuai dengan pasokan dan permintaan nasional.