Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Optimisme Jaga Inflasi hingga Tekan Stunting Lewat APBN 2024

APBN 2024 diyakini mampu menjaga stabilitas ekonomi, menekan inflasi, hingga menurunkan prevelansi stunting
Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Ketua DPR RI Puan Maharani saat pengesahan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 (UU APBN 2024), pada Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (21/9) di Jakarta./ Dok Kemenkeu RI
Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Ketua DPR RI Puan Maharani saat pengesahan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 (UU APBN 2024), pada Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (21/9) di Jakarta./ Dok Kemenkeu RI

Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mampu menjaga inflasi hingga menekan angka prevalensi stunting pada tahun mendatang.

Diketahui, APBN 2024 telah disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (21/9/2023). Di dalamnya, pemerintah menetapkan pendapatan negara Rp2.802,3 triliun, belanja negara sudah Rp3.325,1 triliun dan defisit sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29 persen terhadap PDB.

Kepala Pusat Kebijakan APBN BKF Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Wahyu Utomo menjelaskan, postur APBN 2024 didesain demikian demi mendorong terciptanya sebuah transformasi ekonomi. Tujuan utama yang ingin digapai yakni mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

"Kita ingin mengubah yang produktivitasnya rendah jadi tinggi. Kita ingin mengubah aktivitas ekonomi yang nilai tambah rendah, menjadi tinggi. Kita ingin mengubah brown economy menjadi green economy. Kita ingin mengubah narrow based menjadi growth based economy atau ekonomi yang lebih produktif," ucapnya dalam diskusi Bedah Anatomi APBN 2024, Minggu (24/9/2023).

Wahyu mengungkapkan sejumlah strategi jangka pendek dan menengah yang diterapkan pemerintah untuk mewujudkan transformasi ekonomi melalui APBN 2024. Strategi jangka pendek yang dimaksud, antara lain, menjaga inflasi, menekan angka kemiskinan ekstrem dan stunting atau kekurangan gizi pada anak, lalu mendorong pertumbuhan investasi.

Wahyu menekankan, inflasi perlu dikendalikan demi menjaga stabilitas ekonomi. Dia juga memastikan pemerintah menargetkan angka kemiskinan ekstrem turun jadi 0 persen sampai 1 persen pada 2024.

Strategi jangka menengah yang diterapkan pemerintah yakni mendorong transformasi sumber daya manusia (SDM). Melalui APBN 2024, pemerintah berikhtiar mewujudkan SDM Indonesia yang unggul, produktif, inovatif, berintegritas, dan sejahtera.

Caranya yakni dengan menggalakkan alokasi APBN pada sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Menurutnya, dengan pendidikan yang baik dan berkualitas, membuat orang menjadi lebih compatible dengan kemajuan, lebih inovatif, produktif.

Menurutnya, saat ini pemerintah juga menjadikan infrastruktur sebagai bagian penting dalam mengakselerasi terwujudnya transformasi ekonomi. Kemudian, pemerintah juga berikhtiar meningkatkan nilai tambah atas sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, salah satunya lewat skema hilirisasi.

Dia pun menyoroti bahwa Indonesia sendiri saat ini sedang memasuki fase pemulihan ekonomi. Pendapatan negara, berdasarkan APBN 2024, telah naik signifikan menjadi Rp1.154,5 triliun atau tumbuh 70 persen. Belanja negara juga tumbuh sekitar Rp708 triliun atau 28 persen. Defisit juga turun tajam, di masa pandemi sebesar 6,14 persen, sekarang hanya tinggal 2,29 persen atau turun Rp 442 trilliun.

Ekonom INDEF Nailul Huda mengingatkan adanya sejumlah tantangan global yang berpotensi menghambat pemulihan ekonomi Indonesia. Antara lain, inflasi, likuidasi, kenaikan suku bunga acuan, potensi krisis utang, serta stagflasi.

Nailul cenderung pesimistis dengan cita-cita Indonesia maju 2045. Sebab, Indonesia harus mampu memenuhi syarat utama, yakni pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen.

"Dan target pertumbuhan ekonomi ini sangat sulit kita capai apabila APBN kita tidak digunakan dengan tepat," imbuhnya.

Situasi lain yang menurutnya perlu menjadi perhatian, yakni Indonesia kini menuju deindustrialisasi. Ukurannya adalah kontribusi sektor manufaktur yang hanya sekitar 18 persen terhadap pendapatan negara.

Nailul Huda mengungkapkan, tidak ada pembangunan pabrik yang signifikan menambah kontribusi industri manufaktur ke ekonomi nasional.

"Ini ancaman, ketika deindustrialisasi terjadi, tidak ada lapangan pekerjaan, yang kita khawatirkan adalah tenaga teman-teman mahasiswa tidak bisa diserap oleh pasar kerja. Kalau ingin bekerja di manufaktur. Bahwa industri kita share-nya berada di angka 18 persen," ujarnya.

Nailul Huda juga menyoroti target pemerintah yang mematok sektor manufaktur bisa berkontribusi 26 persen terhadap negara di tahun 2045. Menurutnya, untuk mewujudkan target itu, dibutuhkan pertumbuhan industri manufaktur yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional.

"Berarti manufaktur harus tumbuh dua digit untuk bisa mencapai share industri manufaktur yang ditetapkan oleh pemerintah," tuturnya.

Lemahnya sektor manufaktur juga menyebabkan sempitnya ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat. Nailul mengatakan, saat ini banyak lulusan SMA dan S1 yang justru bekerja di sektor informal.

"Jumlahnya berapa? dari 135 pekerja, 61 persen masuk ke sektor informal. Bekerja di restoran pinggir jalan, which is tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Rata-rata pekerja informal gajinya itu berapa? Rp1,3 -1,5 juta. Bayangkan. Itu lebih rendah dibandingkan UMR Yogyakarta," tandas huda.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Akbar Evandio
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper