Bisnis.com, JAKARTA - Ambisi platform TikTok untuk menguasai pasar Asia Tenggara kian nyata. TikTok mengawinkan platform sosial media dengan jual-beli, diistilahkan sebagai social commerce, jauh lebih agresif dibandingkan e-commerce.
Melansir The Economist, Sabtu (16/9/2023), TikTok resmi meluncurkan layanan baru TikTok Shop pada 2021 lalu. Layanan ini memungkinkan penggunanya untuk membeli produk secara langsung melalui aplikasi tersebut.
Sebuah firma riset asal Singapura, Momentum Works, melaporkan bahwa produk unggulan dari ByteDance Ltd., tersebut berhasil menjual produk secara global senilai US$5 miliar atau sekitar Rp76,83 triliun (kurs jisdor Rp15.367).
Tahun ini, TikTok Shop telah menaikkan target penjualannya menjadi US$20 miliar, tiga perempat pendapatan itu berasal dari 'dompet' negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Di sisi lain, kabar buruk datang dari platform belanja online lain, yakni Shopee. Perusahaan asal Singapura ini mencatat penurunan penjualan seiring beralihnya para pengguna ke TikTok Shop.
Hal ini pun mengharuskan platform belanja online terdepan di Asia Tenggara tersebut untuk memangkas jumlah karyawan yang bernaung di bawahnya dan menarik diri dari usaha di luar kawasan Asia Tenggara.
Baca Juga
Pada Agustus 2023, Shopee bahkan meminta para investornya untuk bersiap menghadapi kerugian karena perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk menghadapi persaingan antar platform belanja online.
Kondisi ini pun dinilai banyak pihak sebagai keuntungan tersendiri bagi TikTok, terlebih aplikasi tersebut telah memiliki lebih dari 300 juta pengguna di wilayah Asia Tenggara.
Popularitas TikTok di kawasan itu pun terlihat dari sambutan baik yang diterima oleh CEO TikTok Shou Zi Chew ketika dirinya mengunjungi Jakarta, Indonesia pada Juni 2023.
Kedatangan Chew berhasil memikat banyak mata karena rencananya untuk melakukan ekspansi ke Asia Tenggara dan janjinya untuk menginvestasikan miliar dolar Amerika Serikat (AS) di wilayah tersebut guna membantu lebih dari 120.000 UMKM untuk beralih ke bisnis daring dan berpartisipasi di ekonomi digital.
Saat ini, TikTok juga tengah menguji tab pasar di aplikasinya yang ke depannya memungkinkan penjual untuk mencantumkan produk mereka di platform tersebut tanpa harus membayar influencer untuk mempromosikannya.
Namun demikian, dari sederetan keuntungan yang dimiliki TikTok, aplikasi itu masih kalah dengan platform belanja online lain, jika dibandingkan berdasarkan jenis produk yang ditawarkan.
Di TikTok, produk yang ditawarkan masih didominasi oleh produk kecantikan maupun fashion. Sementara di platform lain seperti Shopee, Tokopedia, maupun Lazada, penjual telah dapat menwarkan lebih banyak pilihan barang, mulai dari barang elektronik hingga furnitur.
Ketiga pesaing TikTok itupun telah membangun jaringan logistik dan sistem pembayaran yang dapat dijangkau oleh seluruh wilayah di kawasan Asia Tenggara, termasuk wilayah dengan infrastruktur yang kurang baik.
Hal ini memungkinkan perusahaan untuk beroperasi lebih efisien jika dibandingkan dengan TikTok yang saat ini masih bergantung pada pemasok eksternal untuk menyimpan serta mengirimkan produk-produk yang ditawarkan melalui TikTok Shop.
Kondisi tersebut dinilai dapat mengurangi minat pengguna terhadap TikTok karena menurut laporan Bain and Meta, pembeli lebih memilih situs e-commerce dengan waktu pengiriman yang lebih cepat dan aman.
Di sisi lain, keberadaan TikTok juga direspon negatif oleh beberapa negara, misalnya saja India yang telah memblokir aplikasi asal China itu sejak 2020 karena alasan keamanan nasional.
Tak hanya itu, salah satu negara bagian di AS yaitu Montana juga resmi menandatangani undang-undang yang melarang TikTok untuk beroperasi di wilayah tersebut.
Pada Maret lalu, Chew juga harus menghadapi anggota parlemen yang marah di Washington. CEO TikTok tersebut menjalani interograsi selama lima jam lamanya, tentang berbagai topik mulai dari misinformasi hingga kesehatan mentalnya.