Bisnis.com, JAKARTA - Padat dan sesak, gambaran yang terlintas di benak publik ketika mendengar Pasar Tanah Abang, pusat dagang tekstil terbesar di Asia Tenggara.
Cukup beralasan, pusat grosir yang terdiri atas 4 blok itu biasanya ramai oleh pembeli. Bahkan, saat Ramadan tiba, biasanya masyarakat diimbau tidak mendekati area tersebut, karena bakal terpapar kemacetan.
Namun, kondisi itu kini kontras. Ketika Bisnis berkunjung ke pasar tersebut, pada Senin (12/9/2023), situasi cukup lenggang. Sepi dari sorak dan sesak pengunjung.
Saat masuk di lobby utama Blok B, masih dijumpai pengunjung berbelanja. Namun jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Lapak yang buka masih lengkap di sepanjang lorong blok itu. Belum ruko yang ditutup dengan teralis besi.
Dagangan mereka terlihat masih menumpuk. Bahkan, ada yang nyaris menyentuh langit-langit plafon.
Baca Juga
Masih di area Blok B, saat masuk lebih dalam, situasi lebih sepi. Hanya terlihat pedagang yang memadati area tersebut. Jika dibuat rasio antara penjual dengan pembeli, mungkin sekitar 7:1. Banyak pedagang daripada pembeli.
Ketika Bisnis melewati lorong toko tersebut, banyak penjual yang menyahut, “Boleh Kak, belanja bajunya.”
Meskipun pengunjung yang datang dapat dihitung jari, mereka masih menawarkan dagangan dengan muka ceria.
Adalah Eva. Pedagang yang sudah berjualan di Pasar Tanah Abang sejak 2008. Dia mengaku masa keemasan Pasar Tanah Abang telah berlalu. Dia mengenang masa-masa ketika pasar itu masih sangat ramai.
Bahka, ada kalanya dia sempat tidak makan siang karena pelanggan yang datang silih berganti. Situasi telah berubah, saat ini untuk mendapatkan seorang pelanggan setiap hari susah.
“Kadang-kadang yang di toko tidak terjual sih,” ujar Eva.
Kemudian, Bisnis pun beranjak ke lantai yang lebih atas, dan menemui para penjual pakaian anak-anak. Kejadian serupa terjadi di sini, bahkan lebih parah.
Lia, seorang penjual, menceritakan pelanggan yang rutin datang dari luar Jakarta kini jarang berbelanja. Apabila ada yang berbelanja, jumlahnya makin sedikit.
“Ada, tetapi belanjanya dikurangi. Misalkan tadinya 10 lusin, kini menjadi hanya 5 lusin. Tidak banyak seperti dahulu, lah,” ujar Lia kepada Bisnis.
Biasanya saat akhir pekan penjualan baju anak-anak akan naik drastis, karena banyak ibu-ibu yang berbelanja. Namun, saat ini sudah hampir tak mungkin terjadi lagi.
Dengan muka yang lesu, Lia bercerita penghasilan toko baju anak miliknya pada akhir pekan saat itu bisa mencapai Rp5 juta, tetapi saat ini berkurang 50 persen.
Setengah dari pelanggan toko Lia, memilih untuk berbelanja lewat smartphone. Membeli barang dari toko manapun yang muncul sesuai dengan algoritma aplikasi TikTok, Shopee, Tokopedia, dan lain sebagainya.
Tidak berhenti di toko Lia, Bisnis mencoba melangkah lebih dalam masuk ke lorong. Di sana dijumpai deretan ruko yang sudah ditinggalkan oleh penyewanya. Sepi, sunyi dan sedikit penghuni.
Di sana tersisa segelintir pedagang, salah satunya penjual kemeja bernama Camay. Wanita berkulit coklat itu mengatakan selama beberapa bulan terakhir, wilayah tempat dia berjualan sangat sepi.
“Seperti lorong untuk masuk ke gua. Seluruh pasar, Blok A, Blok B, Metro, Blok F, Metro biasa laris aja, sekarang tidak laris,” kata Camay, yang sesekali menghela napas.
Camay merindukan masa-masa sebelum pandemi ketika dirinya dapat mengantongi uang Rp5 juta dalam sehari. Saat ini, mendapatkan Rp1 juta saja sulitnya minta ampun.
Camay tidak berharap banyak. Tidak perlu orang ramai membeli di tokonya, cukup ada lalu lalang orang dan tanda kehidupan saja di wilayah tersebut, rasanya hati Camay sudah berseri.
“Untuk mendapatkan Rp1 juta harus teriak-teriak. Tetapi sekarang di sini teriaknya sama siapa? Tidak ada orang yang bisa diteriaki,” ujar Camay.
Setelah dari Camay, Bisnis kembali beranjak ke area di Blok A. Di sini, jumlah toko yang buka makin sedikit. Setidaknya seperempat toko di area tersebut sudah tutup atau pun pindah.
Di Blok A, Bisnis bertemu dengan Lili, seorang penjual celana berusia sekitar 40 tahunan.
Toko Lili sepi sama seperti milik Camay dan Lia. Jumlah penjualan di tokonya turun sejak beberapa bulan lalu. Dia menduga platform e-commerce menjadi penyebab anjloknya omzet toko Lia.
Pedagang eceran yang sebelumnya membeli dalam jumlah besar ke tokonya, berbondong-bondong pindah ke platform dagang-el, yang menawarkan harga lebih murah dan gratis ongkos kirim.
Akibat perpindahan pembeli tersebut, dia mengaku celana dagangannya yang berhasil dijual turun hingga 60 persen.
“Dahulu misalnya sebulan bisa belanja dua kali. Namun, sekarang sekitar dua hingga tiga bulan baru belanja sekali,” ujar Lia.
Sepinya pembeli di Tanah Abang ramai dibicarakan setelah akun TikTok @boutiq_jakarta memposting mengenai kondisi pasokan barang yang terus datang, sementara jumlah pembelian terus berkurang setiap harinya.
Para pedagang di TikTok tersebut, yang diduga berada di Gedung Metro kini berusaha untuk mengikuti cara berjualan para artis, yakni dengan menggunakan siaran langsung.
Namun, upaya tersebut berujung nihil. Hal yang dirasakan para artis tidak berlaku sama dengan mereka. “Sangking sepinya pasar offline, kita (yang) bukan artis live pun tidak ada yang menonton. Kenapa ya, sekarang orang pada tidak mau datang lagi ke pasar,” ujar
Lebih lanjut, pada pedagang pun mengeluhkan hal tersebut membuat gaji mereka dikurangi. Alhasil, biaya operasional para pedagang menjadi lebih tinggi daripada pemasukan. “Habis (emotikon menangis) dan malah menombok,” ujar pedagang di akun TikTok tersebut.