Bisnis.com, JAKARTA - Live Streaming atau strategi pemasaran secara langsung dari tayangan streaming dan persaingan e-commerce turut berdampak kepada pedagang konvensional. Salah satunya para pedagang di Tanah Abang.
Dalam akun TikTok @boutiq_jakarta, diceritakan Pasar Tanah Abang yang makin sepi pembeli karena orang-orang lebih memilih berbelanja di platform dagang-el atau e-commerce. Pedagang mengungkapkan pasokan barang yang terus datang, tetapi jumlah pembelian terus berkurang setiap harinya.
“Pasar pun sudah pindah alam, sudah banyak orang nyaman dengan belanja daring. (Belanja) luring pun menjadi korban, setiap hari pasar sepi pengunjung,” ujar akun TikTok @boutiq_jakarta, dikutip Senin (11/9/2023).
Para pedagang pun kini berusaha untuk mengikuti cara berjualan para artis, yakni dengan menggunakan live shopping atau live streaming. Namun, upaya tersebut berujung nihil. Hal yang dirasakan para artis tidak berlaku sama dengan mereka.
“Sangking sepinya pasar offline, kita (yang) bukan artis live pun tidak ada yang menonton. Kenapa ya, sekarang orang pada tidak mau datang lagi ke pasar,” ujar akun tersebut.
Baca Juga
Sepinya pengunjung berdampak pada banyak hal mulai dari gaji pedagang yang dikurangi, biaya operasional para pedagang yang lebih tinggi daripada pemasukan hingga nasib para porter (para pengangkut barang) dan penjual makanan.
“Habis (emotikon menangis) dan malah menombok,” ujar pedagang di akun TikTok tersebut.
Oleh karena itu, mereka pun berharap agar pemerintah, terutama Presiden Jokowi untuk lebih memerhatikan nasib para pedagang, terutama para pedagang UMKM. Selain itu, mereka juga berharap para pelanggan yang ada di daerah juga kembali berbelanja di Pasar Tanah Abang.
“Jangan dibiarkan berlarut seperti ini. Pak Presiden, kami toko offline tidak dibunuh, tetapi dibiarkan mati secara perlahan,” ujar akun tersebut.
Adapun berdasarkan pemantauan Bisnis di lapangan, hal-hal yang dikeluhkan oleh akun TikTok tersebut benar adanya.
Sejumlah pedagang di Pasar Tanah Abang mengeluhkan penurunan omzet sekitar 20-80 persen dibandingkan tahun lalu. Bahkan mereka merasa seperti berjualan di dalam gua saking sepinya pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara tersebut.
“Sepi sekarang. Sepi kayak lorong masuk goa. Seluruh pasar, Blok A, Blok B, Metro, Blok F, Metro biasa laris aja, sekarang tidak laris,” kata Camay, seorang penjual kemeja di Tanah Abang kepada Bisnis, Senin (11/9/2023).
Camay mengatakan sudah menjadi hal yang biasa jika toko-toko tersebut bisa dua hari mengalami penjualan, tetapi tiga hari berikutnya tidak ada penjualan sama sekali. Tak heran menurut Camay, sebelum pandemi pendapatan dalam sehari bisa mencapai Rp5 juta, tetapi kini untuk mendapatkan Rp1 juta saja sangat sulit.
Oleh karena itu, Camay mengaku saat ini dia sudah tidak berharap agar tokonya ramai, melainkan cukup dengan adanya pembeli.
"Untuk mendapatkan Rp1 juta saja harus teriak-teriak. Tetapi disini teriaknya sama siapa? Orangnya saja tidak ada yang mau diteriaki,” ujar Camay.
Menurut Camay, hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang memilih menghabiskan uangnya untuk makan dibandingkan membeli baju baru. Camay juga mengungkapkan saat ini sudah makin sedikit para pembeli yang berasal dari luar Jakarta.
Senada, pedagang baju anak, Lia juga mengatakan hal yang serupa. Lia bahkan bercerita para pelanggan rutin dari luar Jakarta yang dulu kerap membeli dagangannya juga semakin jarang berbelanja.
“Ada, tapi belanjanya dikurangi. Misalkan tadinya 10 lusin, kini menjadi hanya 5 lusin, Tidak banyak seperti dulu, lah,” ujar Lia kepada Bisnis.
Lia menambahkan ketika akhir pekan, yang mana penjualan baju cenderung sempat mengalami peningkatan drastis, ternyata sudah tidak terjadi pada sekarang ini. Menurutnya, penghasilan toko baju anak pada akhir pekan saat itu bisa mencapai Rp5 juta. Namun, saat ini berkurang 50 persen.
Lia mengakui, sebenarnya toko tempatnya bekerja sudah mulai berekspansi ke toko daring untuk mengikuti tren penjualan saat ini. Namun, rupanya ekspansi tersebut tidak kunjung menyelamatkan keuangan toko.
“Di (toko) online juga kadang sepi, kadang ramai. Tidak tentu juga. Kita kan juga tidak bisa prediksi, keadaan kan sedang seperti ini, musim juga. Yah, begini saja lah,” ujar Lia.
Lebih lanjut, penjual celana, Lili justru mengungkapkan kehadiran platform daring membuat para pedagang eceran yang sebelumnya membeli dalam jumlah besar ke tokonya juga turut tergerus.
Lili mengatakan para konsumen akhir yang biasanya membeli via eceran, kini lebih memilih untuk membeli via daring. Alhasil, angka penjualan celana milik Lili juga menurun hingga 60 persen.
“Dahulu misalnya sebulan bisa belanja dua kali. Namun, sekarang sekitar dua hingga tiga bulan baru belanja sekali,” ujar Lili.