Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengklaim penerapan skema baru pungutan pajak e-commerce tidak akan menaikkan harga barang yang akan dijual di platform lokapasar daring seperti Shopee, Tokopedia, dan sejenisnya.
Bimo menekankan bahwa pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk pedagang Shopee Cs itu bukan jenis pajak baru melainkan sekadar skema pungutan baru.
Sebelumnya, PPh Pasal 22 dilaporkan secara mandiri oleh wajib pajak. Kini, platform lokapasar daring (pihak ketiga) yang akan langsung memungut kepada pedagangnya yang memenuhi syarat.
"Ini bukan pajak baru, tidak akan menaikkan harga. Jadi platform kan sudah jelas harganya, mereka sudah menghitung kewajiban perpajakan," ujar Bimo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).
Mantan Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden, itu menilai kenaikan harga hanya sekadar isu. Kementerian Keuangan, sambungnya, tidak memiliki niat untuk membebankan harga ke masyarakat.
"[Kenaikan harga] bukan maksud tujuan dari policy [kebijakan] itu. Policy itu sudah sangat fair [adil], sesuai dengan apa yang selama ini sebenarnya diimplementasi," ungkap Bimo.
Baca Juga
Adapun skema baru pungutan PPh Pasal 22 diatur dalam PMK 37/2025. Beleid anyar itu ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 11 Juni 2025 dan diundangkan pada 14 Juli 2025.
Dalam Pasal 8 ayat (1), dijelaskan bahwa pedagang akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5% dari omzet bruto yang diterima dalam setahun. Pajak tersebut di luar pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Nantinya, pemungutan PPh Pasal 22 dari pedagang itu akan dilakukan oleh lokapasar daring yang termasuk Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Contoh PMSE seperti Shopee, Tokopedia, dan sejenisnya yang telah ditunjukkan oleh Kementerian Keuangan.
Dalam Pasal 6, disampaikan bahwa pedagang yang memiliki omzet sampai dengan Rp500 juta per tahun wajib melaporkan buktinya ke lokapasar tempatnya berjualan yang termasuk PMSE. Selain itu, pedagang yang memiliki omzet di atas Rp500 juga per tahun juga melaporkan buktinya.
Hanya saja pada Pasal 10 ayat (1) huruf a, disampaikan bahwa pedagang dengan omzet setara atau di bawah Rp500 juta per tahun tidak akan dipungut PPh Pasal 22. Artinya, hanya pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun sampai dengan Rp4,8 miliar yang dikenai pajak 0,5%.
Potensi Harga Naik akibat Pajak E-Commerce
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan mengakui skema baru pungutan pajak itu tidak menambah beban pajak baru bagi pedagang, melainkan mengalihkan mekanisme pemungutannya ke platform digital. Hanya saja, implementasi di lapangan tetap membawa sejumlah tantangan administratif dan teknis.
Di sisi lain, meskipun pajak dibebankan kepada pedagang, dalam praktiknya ada potensi beban tersebut diteruskan ke konsumen, tergantung strategi masing-masing penjual. idEA mencatat kebijakan serupa telah diterapkan di beberapa negara seperti India, Meksiko, Filipina, dan Turki.
Dia mengingatkan bahwa kondisi ekosistem digital di Indonesia berbeda dan menuntut pendekatan implementasi yang sesuai dengan konteks lokal. Budi mengatakan pihaknya pun menunggu arahan lebih lanjut, termasuk komunikasi teknis yang komprehensif dari otoritas agar pelaku industri dan UMKM dapat menyesuaikan diri dengan baik.
“Kami terbuka untuk berdialog dan mendorong agar kebijakan ini diterapkan secara adil dan proporsional, tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi digital nasional,” ujar Budi dalam keterangan resmi, Selasa (15/7/2025).