Bisnis.com, JAKARTA – Prospek penerimaan pajak tahun 2025 akan semakin menantang meski kinerja ekonomi pada kuartal II/2025 tumbuh 5,12% atau secara kumulatif semester 1/2025 di angka 4,99%.
Kalau diasumsikan bahwa pajak adalah tahap akhir dari proses ekonomi, maka telah terjadi anomali antara kinerja pertumbuhan ekonomi dengan realisasi penerimaan pajak.
Sekadar catatan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merilis data bahwa realisasi per semester 1/2025 lalu yang mencapai Rp831,27 triliun atau 38% dari target APBN 2025 senilai Rp2.189,3 triliun. Kinerja penerimaan semester 1/2025 itu terkontraksi sebesar 7% dari semester 1/2024 yang tercatat sebanyak Rp893,85 triliun.
Meski demikian, pemerintah telah mengeluarkan outlook penerimaan pajak 2025 hanya akan di kisaran 94,9% atau 2.706,9 triliun. Itu artinya sampai dengan akhir tahun 2025 nanti, otoritas pajak harus mengejar penerimaan pajak sebanyak Rp1.2645,63 triliun.
Kalau mencermati data-data yang sudah dipubikasikan pemerintah dalam Laporan Semester 1/2025 lalu, catatan negatif penerimaan pajak itu terjadi karena jenis-jenis pajak penopang utama penerimaan mengalami kontraksi yang cukup dalam.
Pajak Penghasilan alias PPh badan, misalnya, realisasinya hanya sebesar Rp152,49 triliun atau terkontraksi sebesar 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak Rp172,66 triliun. Begitupula dengan PPN yang tercatat senilai Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7%. Penerimaan pajak PPN semester 1/2024 lalu mencapai Rp332,81 triliun.
Baca Juga
Strategi Otoritas Pajak
Sejauh ini, pemerintah cukup optimistis penerimaan pajak bakal sesuai outlook APBN 2025. Pada awal Juli lalu, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto mengklaim outlook tersebut didasarkan pada perbaikan kapasitas administrasi dan efisiensi pemungutan yang terus meningkat.
“Landasannya memang kemampuan administrasi kita mulai meningkat. Beberapa pimpinan juga sudah mulai bisa bekerja, efisiensi pemungutan juga sudah terjadi. Coretax sudah mulai membaik,” klaim Bimo, dikutip Rabu (2/7/2025).
Dia menambahkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak juga berupaya menjaga keseimbangan antara penerimaan dan belanja negara, guna memastikan target defisit anggaran dapat tetap dikendalikan sesuai rencana fiskal pemerintah.
Terkait pengembalian pajak (restitusi), Bimo mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengambil langkah-langkah pengendalian. Restitusi dipilah menjadi tiga jenis restitusi lebih bayar pendahuluan, rutin, dan akibat penegakan hukum.
“Yang pendahuluan yang begitu masif itu kita coba scrutiny [awasi]. COGS-nya (cost of goods sold) benar-benar kita pastikan layak sebagai dasar pengkreditan pajak masukan atau tidak,” jelasnya.
Direktorat Jenderal Pajak, sambungnya, menerapkan proses quality control melalui review dan audit sampling, untuk memastikan pengajuan restitusi sesuai ketentuan perpajakan namun tetap memberi kepastian kepada dunia usaha.
Lebih lanjut, Bimo juga mengakui bahwa belakangan penerimaan pajak juga tertekan karena sektor batu bara yang mengalami tekanan akibat volatilitas harga. Dia pun menyatakan pihaknya tengah menyusun alternatif kebijakan untuk merespons situasi tersebut. “Kalau yang konteks batu bara memang karena volatilitas harga, kita sudah usulkan beberapa alternative measures-nya. Nanti kalau sudah final, akan kami sampaikan,” jelasnya.
Akan Membaik
Di sisi lain, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menuturkan bahwa laporan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 menjadi kabar baik kedua setelah sebelumnya IMF, dalam World Economic Outlook (WEO) terkini, menaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025.
Ekonomi kuartal II - 2025 tumbuh 5,12% atau tumbuh lebih tinggi dibandingkan kuartal yang sama pada tahun lalu. Sedangkan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 dalam outlook terbaru baik menjadi 4,8%.
Fajry menambahkan bahwa prospek positif pertumbuhan ekonomi ini akan berdampak positif bagi kinerja penerimaan pajak tahun 2025. Meski data terakhir menunjukkan penerimaan pajak kita masih terkontraksi namun saya berpendapat jika hal tersebut bersifat sementara.
“Mengingat kinerja awal tahun banyak dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi yang bersifat sementara dan tidak berulang seperti kenaikan restitusi pajak. Meski awal tahun ada kontraksi cukup dalam namun akan terus membaik sampai akhir tahun. Tahun lalu pola kinerja penerimaan-pun sama seperti itu,” ujarnya.
Secara historis, kata Fajry, dalam dua dekade terakhir, penerimaan pajak tidak pernah tumbuh negatif kecuali karena adanya shock besar pada perekonomian, seperti global financial crisis (2008) tahun 2008 atau Pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu.
“Artinya, kalau ekonomi kita bisa tumbuh positif, sudah seharusnya pertumbuhan penerimaan pajak juga akan positif. Sedangkan kontraksi penerimaan yang cukup dalam akan terus membaik.”