Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut besaran dana hibah (grant) yang dialokasikan dari komitmen kemitraan Just Energy Transition Partnership atau JETP hanya sekitar US$130 juta atau setara dengan Rp1,99 triliun (asumsi kurs Rp15.324 per dolar AS).
Jumlah tersebut hanya sekitar 0,65 persen dari total pendanaan JETP yang dijanjikan pakta iklim Amerika Serikat-Jepang sebesar US$20 miliar atau setara dengan sekitar Rp310,7 triliun. Nilai hibah itu juga lebih kecil dari yang disebutkan Kementerian ESDM sebelumnya sebesar US$160 juta.
"US$130 juta yang saya tahu sekarang," kata Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan saat ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (22/8/2023).
Sementara itu, Dadan menuturkan, mayoritas pendanaan JETP akan diberikan dalam bentuk pinjaman komersial, termasuk pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) senilai US$10 miliar. Pendanaan dari swasta ini juga melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
"Waktu itu kami sudah sampaikan US$130 juta itu yang hibah, kemudian ada technical assitant [bantuan teknis]. Kemudian, ada yang pinjaman tapi commercial loan yang bunganya lebih menarik," tutur Dadan.
Seperti diketahui pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk pemerintah Indonesia.
Baca Juga
Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero.
Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
Sementara itu, pendanaan dari JETP senilai US$20 miliar dinilai tidak dapat mencukupi kebutuhan investasi transisi energi Indonesia.
Analis Kebijakan Energi International Institute of Sustainable Development (IISD) Anissa Suharsono menyebut bahwa nilai pinjaman tersebut tidak cukup untuk membantu Indonesia dalam mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 maupun target net zero emission (NZE).
"Bujet kita untuk membiayai transisi energi dana JETP Rp300 triliun belum apa-apa. Itu tidak akan cukup hanya sekadar katalis. Kenyataannya pembiayaan yang dibutuhkan untuk transisi energi sampai NZE jauh lebih besar lagi, [Bahkan bisa] berkali-kali lipat," kata Anissa dalam diskusi 'Mendorong RUPTL Hijau yang Ambisius Setelah Komitmen JETP', Senin (21/8/2023).
Dia pun meminta pemerintah tidak hanya mengandalkan dana JETP. Namun, juga perlu mengandalkan sumber pendanaan lainnya. Misalnya, pengalokasian dari dana publik hingga pinjaman dari bank BUMN.
"Public financial flow yang paling pertama bergerak karena kendali di bawah pemerintah dan memengaruhi, seperti public controlled money, subsidi, insentif, investasi dari lembaga keuangan publik," ujarnya.
Di sisi lain, Peneliti Energi Institute of Energy Economic anf Financial Analysis Putra Adhiguna melihat bahwa dana JETP tidak bisa memenuhi target transisi energi Indonesia. Dirinya bahkan mengatakan bahwa Indonesia harus memiliki dana hingga Rp500 triliun untuk mencapai bauran EBT 23 persen hingga 2025.
"Tetapi ini bisa membantu menggulirkan infrastruktur awal. Jadi JETP ini sebenarnya adalah komitmen-komitmen di awal yang bisa menggulirkan bolanya," ucap Putra.