Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga riset energi Transition Zero mengingatkan pemerintah Indonesia perlu berhati-hati dalam menggunakan skema pendanaan transisi energi dari negara-negara maju melalui Just Energy Transitions Program (JETP).
Energy Analyst Transition Zero Handriyanti Diah Puspitarini mengatakan bahwa Indonesia perlu mewaspadai berbagai macam hal saat merencanakan program transisi energi menggunakan pendanaan dari JETP.
Yanti menyebut, Indonesia akan menjadi sorotan dunia internasional jika nantinya memanfaatkan pendanaan JETP untuk melakukan transisi energi dalam negeri. Terlebih, pemerintah Indonesia saat ini menargetkan bauran energi bersih sebesar 34 persen pada 2030.
“Sekarang ini semua international eyes di Indonesia melihat JETP ini bagaimana nanti, ada target 34 persen di 2030. Jika 34 persen ini ternyata sudah ada di plan [pendanaan JETP] dan nanti di tahun 2030 tidak tercapai 34 persen, nanti mata dunia akan berbicara hal yang lain,” kata Yanti dalam diskusi 'Mendorong RUPTL Hijau yang Ambisius Setelah Komitmen JETP', Senin (21/8/2023).
Yanti menilai jika Indonesia tidak dapat memenuhi target bauran energi bersih 34 persen pada 2030, maka ada risiko bagi Indonesia tidak bisa mendapatkan pendanaan lagi dari negara lain.
“Akan ada risiko untuk Indonesia untuk tidak bisa misal mendapatkan funding negara lain untuk membangun sistem ketenagalistrikan dan sistem energi bersih jika JETP tidak bisa tercapai,” ujarnya.
Baca Juga
Seperti diketahui, pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar atau setara dengan Rp310,7 triliun (asumsi kurs Rp15.535 per US$) dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia.
Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.