Bisnis.com, JAKARTA – Amerika Serikat tengah menyiapkan aksi balasan atas kebijakan China yang membatasi ekspor mineral kritis, salah satunya dengan upaya mengamankan pasokan mineral dari Kongo.
Melansir Bloomberg, Kamis (13/7/2023), Ketua subkomite DPR untuk urusan Afrika John James memperkenalkan RUU yang membutuhkan pembentukan strategi nasional AS untuk mengamankan rantai pasokan mineral penting dari Republik Demokratik Kongo (DRC).
DRC memproduksi 70 persen dari kobalt dunia. Material ini menjadi salah satu bahan baku baterai kendaraan listrik. Selain itu, Kongo juga memiliki cadangan tembaga, lithium, tantalum dan germanium.
Sebagai catatan, germanium adalah salah satu logam yang ekspornya akan dibatasi oleh China mulai 1 Agustus 2023. Menurut asosiasi industri Eropa Critical Raw Materials Alliance (CRMA) China memproduksi sekitar 60 persen germanium dunia.
Menurut RUU tersebut, dominasi perusahaan China dalam ekstraksi, pemrosesan dan pemurnian mineral ini menjadi ancaman keamanan ekonomi nasional yang berdampak pada kemandirian energi dan kesiapan militer.
“Saat ini, China mengoperasikan 15 dari 19 tambang penghasil kobalt di DRC, yang telah menciptakan dominasi Partai Komunis China atas rantai pasokan mineral kritis global yang secara langsung merugikan kepentingan strategis AS.” ungkap pernyataan resmi perwakilan John James, Rabu (12/7).
Baca Juga
RUU tersebut disponsori bersama oleh beberapa pihak, yang nyatanya semua berasal dari Partai Republik.
Kontrol China akan Kobalt
Sebelumnya, China diketahui mengambil keuntungan dari jatuhnya harga kobalt untuk membangun persediaan logam yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik dan paduan kedirgantaraan.
Administrasi Cadangan Pangan dan Strategis Nasional, lembaga penyimpanan stok pemerintah, telah setuju untuk membeli sekitar 5.000 ton kobalt dari tiga penyulingan lokal dan pedagang milik negara.
Harga kobalt sendiri telah anjlok lebih dari 60 persen sejak Mei 2022 karena meningkatnya produksi dari DRC dan Indonesia.
Indonesia Penghasil Kobalt Terbesar Kedua di Dunia
Dilansir dari Dataindonesia.id, Kamis (13/7) berdasarkan data dari Badan Survei Geologi AS (USGS) DRC menjadi produsen kobalt terbesar di dunia pada 2022 dengan produksi kobalt sebanyak 130.000 ton sepanjang tahun lalu.
Indonesia kemudian berada di posisi kedua dengan produksi kobalt sebesar 10.000 ton sepanjang tahun 2022.