Bisnis.com, JAKARTA – Dana Moneter Internasional (IMF) meminta pemerintah untuk mencabut kebijakan larangan ekspor komoditas secara bertahap. Ekonom CELIOS pun menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan hilirisasi.
Menurut IMF, kebijakan larangan ekspor komoditas memberikan dampak rambatan bagi negara lain. IMF juga menilai bahwa pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan manfaat jangka panjang dan biaya yang harus ditanggung dari kebijakan tersebut.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan larangan total ekspor komoditas.
Menurut Bhima, output dari program hilirisasi yang digaungkan masih jauh dari harapan awal pemerintah. Misalnya pada komoditas nikel, dia mengatakan produk yang diekspor seharusnya sudah dalam bentuk mobil listrik atau baterai. Namun, yang diekspor masih barang setengah jadi.
Selain itu, pemerintah memberikan insentif fiskal secara besar-besaran untuk mendukung hilirisasi. Dia menilai, hal ini justru menggerus basis pajak dan mempengaruhi rendahnya rasio pajak di dalam negeri.
“Indonesia kalau tidak salah minggu ini ada Asean Meeting yang salah satunya menyerukan penurunan proteksi dagang karena ingin pulih bersama. Tapi, Indonesia sebagai leader mencontohkan sebagai negara yang proteksionismenya dengan pelarangan ekspor total, ini menjadi contoh yang tidak bagus,” katanya, Rabu (5/7/2023).
Baca Juga
Bhima mengatakan daripada menerapkan kebijakan larangan ekspor total, pemerintah bisa menerapkan kebijakan yang memainkan tarif atau bentuk kebijakan lainnya.
“Kalau pelarangan total, memangnya benar tidak ada bijih nikel yang keluar? Buktinya 5 juta ton lebih jadi ilegal, artinya tetap saja,” tuturnya.
Dia menambahkan, di luar kritik IMF, memang banyak pihak telah meminta pemerintah untuk mengevaluasi program tersebut, terutama sebelum larangan ekspor total juga diberlakukan ke komoditas lainnya.
“Pemerintah berhati-hatilah dalam konteks hilirisasi, Jangan nanti hilirisasi hanya dilihat nilai tambah, nilai tambah, padahal ternyata lubang dari regulasi dan praktik pengawasannya masih banyak,” jelas Bhima.