Bisnis.com, JAKARTA — Kesepakatan tarif resiprokal 19% antara Indonesia-Amerika Serikat dinilai sebagai peluang besar bagi perekonomian dan dunia usaha RI karena besaran tarif Trump itu kompetitif.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan bahwa keberhasilan Indonesia mendapatkan tarif impor 19% menjadi prospek positif bagi perekonomian, karena terdapat manfaat dan peluang dari besaran tarif tersebut.
Tarif 19% yang Indonesia peroleh menjadi kompetitif karena merupakan salah satu yang terendah di Asia Tenggara (Asean). Indonesia berada di posisi kedua setelah Singapura yang memiliki tarif 10%, karena sudah mempunyai perjanjian dagang dengan AS dan tidak menyebabkan defisit bagi Negeri Paman Sam.
Indonesia juga menerapkan tarif impor 0% bagi produk AS, seperti halnya Vietnam, Filipina, dan 27 negara Uni Eropa. Lalu, terdapat komitmen pembelian produk dan investasi ke AS.
Dalam hal komitmen pembelian dan investasi itu, Indonesia cukup diuntungkan karena perjanjiannya cukup positif.
"Kita kemarin beli US$19,5 miliar, beli energi, beli pangan, yang sebenarnya tidak ada tambahan APBN di sana. US$19 miliar, bandingkan dengan Jepang US$550 miliar, kita sudah kaget. Tiba-tiba Kemarin Trump bertemu dengan Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, ternyata Uni Eropa lebih besar lagi, diwajibkan beli produk AS US$750 miliar, diwajibkan investasi US$600 miliar, jadi totalnya US$1.350 miliar. Dinamikanya kayak gini, trade deal-nya AS dengan beberapa kawasan, perkembangannya seperti itu," ujar Susi.
Baca Juga
Susi juga menjelaskan bahwa tarif 32% berisiko menghentikan ekspor beberapa sektor industri padat karya. Oleh karena itu, penurunan tarif ke 19% dapat menyelamatkan industri padat karya seperti tekstil, produk tekstil, juga alas kaki.
Menurut Susi, kesepakatan RI-AS ada dalam momentum yang tepat. Pasalnya, Juli menjadi waktu yang krusial bagi keputusan bisnis sektor padat karya, termasuk soal pesanan dari luar negeri dan ekspor ke AS, sehingga adanya keputusan tarif dapat memberikan kepastian bagi para pelaku usaha.
"Timing kemarin Bapak Presiden tepat sekali. Seperti fashion itu, kan, musiman, untuk spring mereka sudah harus deal di pertengahan bulan kemarin, bayangkan kalau enggak ada kepastian Indonesia kena tarif berapa, bisa jadi order para perusahaan eksportir Indonesia lari ke beberapa negara yang sudah jelas tarifnya, contohnya Vietnam ... Kalau 15 Juli kemarin kita belum putuskan, enggak akan berani bikin order, karena belum tahu Indonesia kena berapa. Jadi, blessing-nya kemarin memberikan kepastian," ujar Susi.
Pemerintah juga menilai bahwa dalam kesepakatan RI-AS tidak ada penyerahan data oleh pemerintah. Aliran data tetap diawasi oleh otoritas nasional berdasarkan ketentuan hukum Indonesia.
"Yang kita sepakati adalah, seluruh negara termasuk Indonesia, data kita kan sudah sukarela kita input ke AS, misalkan saat kita registrasi akun media sosial. Kesepakatan ini menjadi dasar hukum yang sah bahwa AS harus menjaga itu semua, dan kita menggunakan UU PDP [Perlindungan Data Pribadi] ... Kami minta penerapan standar mereka, data WNI yang di sana tolong disesuaikan dengan tata kelola yang ada," ujar Susi.
Lalu, kesepakatan RI-AS untuk mengurangi pembatasan ekspor hanya untuk komoditas hasil industri (industrial commodities), bukan untuk bahan mentah atau ores.
Impor produk pertanian dari AS juga hanya berlaku untuk komoditas yang selama ini sudah diimpor, seperti kedelai, kapas, dan gandum. Impor tetap mempertimbangkan kebutuhan dalam negeri dan kelayakan bisnis, dengan pergeseran negara asal impor barang ke AS.
Pemerintah meyakini bahwa impor akan menjaga inflasi.