Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kompromi RI dengan AS & UE soal Hilirisasi, Setuju Jual Barang Setengah Jadi

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyebut langkah itu sebagai strategi dalam menghadapi kebijakan diskriminatif IIRA milik AS dan CRM milik UE.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia saat wawancara dengan Bisnis Indonesia di Jakarta, Selasa (25/10/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia saat wawancara dengan Bisnis Indonesia di Jakarta, Selasa (25/10/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah sepakat untuk menjual barang setengah jadi hasil hilirisasi tambang mineral kritis dalam negeri sebagai jalan tengah menyiasati kebijakan diskriminatif terhadap mineral kritis asal Indonesia yang diterapkan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). 

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, mineral kritis Indonesia harus tetap mengalami proses pengolahan dengan nilai tambah mencapai 60-70 persen di dalam negeri. Barulah produk olahan itu bisa diekspor dan AS maupun UE dapat mengolahnya menjadi barang jadi di negaranya. 

Langkah itu menjadi kolaborasi yang tengah didorong pemerintah dalam menghadapi kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) milik AS dan Critical Raw Materials Act (CRM) milik UE.

Bahlil mencontohkan langkah itu sudah diimplementasikan lewat kerja sama pembangunan pabrik panel surya beberapa waktu lalu yang menggandeng perusahaan asal AS dengan nilai investasi mencapai US$500 juta atau setara dengan Rp7,5 triliun.

Pabrik yang bakal dibangun di Batang, Jawa Tengah itu bakal mengekspor produk antara dengan nilai tambah pengolahan di dalam negeri mencapai 60 persen sampai dengan 70 persen. 

“Ini bagian strategi kita masuk komponen IRA, karena mereka juga ingin penciptaan nilai tambah hilirnya itu di sana, itu yang menurut saya kolaborasi jadi jangan mereka ambil bahan baku saja kemudian tanpa proses nilai tambah di negara penghasil bahan baku tersebut,” kata Bahlil saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023). 

Adapun, IRA memperketat kriteria mineral logam yang dapat menerima insentif kendaraan listrik yang dialokasikan pemerintah AS selepas 2023. Beberapa kriteria itu, di antaranya mewajibkan mineral logam diolah di AS serta bahan baku yang diperoleh mesti berasal dari sejumlah negara yang telah memiliki perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) dengan pemerintah AS. Dominasi perusahaan China pada industri smelter Indonesia juga turut menjadi perhatian pemerintah AS. 

Sementara itu, CRM mewajibkan agar pabrik hilir dari turunan mineral kritis seperti sel baterai mesti berdekatan dengan industri mobil listrik di negara anggota Uni Eropa. Kebijakan itu ingin memastikan nilai tambah pengolahan mineral tetap berada di benua biru.

“Negosiasi pemerintah Indonesia dengan IRA masih berjalan, tanpa IRA kita kesampingkan dulu, maka kombinasi yang kami bangun dalam implementasi hilirisasi di Indonesia itu adalah proses industrinya dibangun 70 persen nilai tambahnya di Indonesia sisanya kita kirim ke Amerika,” kata dia.  

Di sisi lain, dia mengatakan, belum pastinya Indonesia mendapat fasilitas limited FTA dari AS tidak bakal menganggu rencana investasi konsorsium LG Energy Solution (LG) pada usaha patungan atau joint ventures (JV) Indonesia Battery Corporation (IBC) di Indonesia. Menurut Bahlil, LG bakal tetap mendapat kepastian akses pasar subsidi AS untuk produk turunan antara di level katoda.  

“Tidak akan terganggu, kalau dia sampai di katoda itu dia no problem kalau bahan bakunya 60 sampai 70 persennya di Indonesia kemudian barang jadinya itu di AS itu tidak ada masalah, disiasati saja,” kata dia.  

Seperti diberitakan sebelumnya, Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho mengatakan, kepastian FTA terbatas itu menjadi krusial bagi industri penghiliran bijih nikel menuju baterai kendaraan listrik Indonesia untuk mendapat kepastian pasar yang luas di Amerika Serikat dan negara-negara benua biru.  

“Indonesia memang mengusahakan semaksimal mungkin membuat free trade agreement khusus spesifik battery materials, kalau ini bisa goal, artinya tidak ada isu battery materials kita ke seluruh dunia,” kata Toto saat ditemui di Jakarta, dikutip Selasa (13/6/2023).  

Kendati demikian, Toto mengatakan, pasar material kritis dan baterai listrik Indonesia relatif telah diterima di Inggris. Berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat yang menerapkan subsidi diskriminatif untuk beberapa negara, pemerintah Inggris terbilang terbuka untuk bahan mentah dan baterai listrik Indonesia. 

 “Jadi kemarin kalau bisa dilihat dengan UK [Inggris] itu sudah diterima, tidak ada isu lagi, tinggal IRA [AS] dan Eropa ya,” kata dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper